Jakarta (ANTARA News) - Gema selawat yang dilantunkan para tenaga kerja Indonesia mengiringi pengesahan undang-undang tentang jasa ketenagakerjaan asing di Taiwan yang salah satu poinnya adalah menghapus biaya-biaya perpanjangan kontrak kerja.
"Sebagai bentuk syukur atas pengesahan undang-undang itu, kami dan teman-teman membaca selawat Nariyah bersama," kata Ketua Federasi Serikat TKI Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) Taiwan, Agus Susanto, saat dihubungi dari Jakarta, Jumat malam.
Secara kebetulan, lanjut Agus, pengesahan amandemen "Employment Service Act" tersebut hampir bersamaan dengan peringatan Hari Santri.
"Kebetulan malam ini kami menggelar pembacaan selawat Nariyah di Taipei sesuai dengan instruksi dari PBNU di Jakarta tentang Gerakan Semiliar Selawat Nariyah menyambut datangnya Hari Santri, Sabtu (22/10)," katanya beberapa saat menjelang dimulainya pembacaan selawat Nariyah di Sekretariat Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Taiwan di Kota Taipei itu.
Menurut dia, kebijakan tersebut sangat menguntungkan para TKI yang selama ini terbelenggu oleh beban biaya penempatan TKI saat hendak memperpanjang kontrak kerja.
Kantor Berita Taiwan (CNA) memberitakan Legislatif Yuan, Jumat siang, menyetujui amandemen undang-undang tersebut. Dengan demikian, maka para pekerja asing di Taiwan bisa dikontrak lagi setiap tiga tahun tanpa harus meninggalkan wilayah tersebut.
Amandemen tersebut menghapus ketentuan sebelumnya bahwa para pekerja migran yang bekerja di Taiwan selama tiga tahun harus meninggalkan wilayah itu sedikitnya satu hari jika mereka ingin dikontrak lagi.
Peraturan tersebut akan segera berlaku secara umum begitu diumumkan oleh Kantor Kepresidenan yang secara formal biasanya membutuhkan waktu kurang dari tiga pekan, demikian laporan CNA.
"Kebijakan tersebut juga akan membantu para pekerja migran, terutama TKI, menghemat 75.000 hingga 180.000 dolar Taiwan (Rp30.825.000 hingga Rp73.980.000) sebagai biaya perantaraan, penempatan, dan biaya lain-lain per kontrak setiap tiga tahun," kata Wu Yu-chin, anggota legislatif dari Partai Progresif Demokratik, yang berkuasa di Taiwan.
Hingga akhir Juli 2016, tercatat 603.109 pekerja asing bekerja sebagai buruh bangunan, buruh pabrik, pembantu rumah tangga, dan pekerjaan lainnya di Taiwan, demikian data Kementerian Ketenagakerjaan setempat.
Dari jumlah itu, pekerja asing asal Indonesia menempati peringkat terbanyak, yakni mencapai lebih dari 250.000 orang yang sekitar 70 persen bekerja pada sektor informal.
Sebelum undang-undang tersebut diamandemen, setiap tahun lebih dari 14.000 dari pekerja asing harus meninggalkan wilayah itu agar bisa masuk kembali untuk bekerja sesuai kontrak baru.
Sebagian besar kasus, para pekerja asing harus membayar biaya perantara atau biaya lain agar dapat kembali masuk dan bekerja di Taiwan lagi.
Menurut Kementerian Ketenagakerjaan Taiwan, biaya yang harus dikeluarkan para pekerja asing asal Indonesia rata-rata 50.000 hingga 54.000 dolar Taiwan dan pekerja asal Vietnam sebesar 120.000 dolar Taiwan sangat membebani.
Ketua Asosiasi Pengusaha Jasa Tenaga Kerja Kota Taoyuan, Huang Gao-jie, kepada CNA mengatakan bahwa ketentuan mengenai pekerja migran harus meninggalkan wilayah Taiwan setelah bekerja selama tiga tahun dirancang untuk menghilangkan pekerja tak berkualitas.
"Penghapusan persyaratan tersebut mengakibatkan buruh migran yang tinggal untuk waktu yang lama di Taiwan dapat bersaing dengan pekerja lokal," ujarnya. (1 dolar Taiwan = Rp411).
Pewarta: M Irfan Ilmie
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016