Jakarta (ANTARA News) - Salah satu bidang yang banyak mendapat sorotan publik pada dua tahun pemerintahan Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla, 20 Oktober 2016 adalah penegakan hukum.
Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (rechstaat), bukan atas dasar kekuasaan (machstaat) dan bagaimana pemerintah mencapai upaya dalam penegakan hukum dapat menggambarkan apakah kepastian hukum dan supremasi hukum di Tanah Air ini terwujud.
Sebagai negara berdasarkan hukum, sudah selayaknya supremasi hukum dapat tegak berdiri. Supremasi hukum merupakan upaya dalam penegakan hukum dan penempatan hukum sebagai posisi tertinggi dalam suatu negara yang dapat digunakan untuk melindungi semua lapisan masyarakat tanpa intervensi atau gangguan dari pihak manapun, termasuk pihak penyelenggara negara. Hukum adalah panglima dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Presiden Jokowi saat memimpin rapat kabinet terbatas pada Selasa (11/10) misalnya, menekankan bahwa kepastian hukum merupakan suatu keharusan bagi Indonesia untuk menghadapi era persaingan saat ini. Tidak ada pilihan lain kecuali harus segera melakukan reformasi hukum besar-besaran dari hulu sampai hilir.
Presiden menegaskan bahwa berdasarkan konstitusi, Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan harus berdasarkan hukum dan negara harus hadir memberikan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia, termasuk rasa aman kepada seluruh warga negara.
Kepala Negara menyadari cita-cita sebagai negara hukum belum sepenuhnya terwujud dalam praktik penyelenggaraan negara maupun dalam realita kehidupan sehari-hari. Hukum masih dirasa cenderung tajam dan runcing ke bawah dan tumpul ke atas. Presiden menyebutkan dengan indeks persepsi korupsi dunia 2015, Indonesia masih berada pada urutan 88, begitu pula dengan "rule of law" 2015, Indonesia juga berada pada peringkat 52.
Jika hal ini dibiarkan maka akan memunculkan ketidakpercayaan dan ketidakpatuhan terhadap hukum maupun pada insitusi-institusi penegak hukum. Begitu Kepala Negara mengingatkan.
Meskipun demikian, dua tahun pemerintahan Jokowi-JK telah menghasilkan berbagai capaian dalam penegakan hukum.
Sebagaimana yang tertuang dalam laporan capaian dua tahun pemerintahan Jokowi-JK yang diterbitkan oleh Kantor Staf Presiden, penegakan hukum dari Kepolisian RI menunjukkan bahwa jumlah kejahatan relatif berkurang dari 373.636 kasus pada tahun 2015, menurun menjadi 165.147 kasus pada tahun ini. Sementara dalam persentase penyelesaian kasusnya sedikit menurun dari 59 persen ke 58 persen.
Dalam pemberantasan teroris, Polri selama kurun waktu 2015 hingga Juni 2016 telah menangkap 170 tersangka kasus terorisme, terdiri atas hasil kegiatan kepolisian sebanyak 120 tersangka, hasil Operasi Camar 27 tersangka, dan hasil operasi Tinombala sebanyak 23 tersangka. Tersangka teroris yang paling dicari, Santoso, telah ditembak mati pada 18 Juli 2016.
Sementara penegakan hukum oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai juga mengalami peningkatan pada tahun ini, sedangkan di sisi pelayanan, sudah terjadi efisiensi dalam total waktu "pre-clearance".
Kinerja Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terdiri atas bidang pengawasan dan pelayanan. Proses penyidikan yang telah lengkap (P21) sebanyak 94 kasus pada tahun ini, lebih rendah dibanding pada 2015 sebanyak 105 kasus dan 2014 sebanyak 108 kasus.
Jumlah penindakan pada tahun ini juga mencapai angka 9.004 kasus, menurun dibandingkan tahun 2015 sebanyak 10.009, dan pada tahun 2014 sebanyak 6.640 kasus.
Nilai barang hasil penindakan pada tahun ini mencapai Rp2.243 miliar, sedangkan pada tahun 2015 sebesar Rp3.701 miliar, dan pada tahun 2014 sebesar Rp1.724 miliar.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai juga telah berhasil mempersingkat waktu pelayanan. Dalam "pre-clearance" untuk obat dan makanan pada tahun 2015 rata-rata hanya membutuhkan waktu 2,5 hari, sedangkan pada 2014 mencapai 3,83 hari.
Untuk "pre-clearance" hewan, pada tahun 2015 hanya sekitar tiga jam, dibandingkan pada 2014 yang mencapai 5,31 hari. "Pre-clearance" tumbuhan pada 2015 juga telah bisa mencapai tiga jam, dibandingkan pada tahun 2014 yang mencapai 4,16 hari.
Sementara penegakan hukum di kejaksaan, selama tahun ini terjadi peningkatan penyelamatan keuangan negara dibandingkan tahun sebelumnya, namun terdapat penurunan dalam penegakan hukum kasus korupsi.
Dibandingkan tahun 2015, secara umum, penegakan hukum yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung pada tahun 2016 cenderung meningkat.
Tindak pidana umum menunjukkan bahwa pada tahun ini terdapat 96.589 kasus tindak pidana umum berdasarkan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) sedangkan yang telah masuk pada penuntutan sebanyak 94.248 kasus.
Sementara pada tahun 2015, terdapat 132.987 kasus tindak pidana yang masuk SPDP dan 133.830 kasus yang masuk penuntutan.
Untuk tidak pidana korupsi, tahun ini hingga Mei lalu, terdapat 453 kasus masuk dalam penyelidikan, 357 kasus dalam penyidikan, dan 781 kasus tahap penuntutan. Sementara pada tahun 2015, terdapat 1.988 kasus masuk dalam penyelidikan, 1.785 kasus dalam penyidikan, dan 2.446 kasus tahap penuntutan.
Kejaksaan Agung juga berhasil meningkatkan penerimaan keuangan negara per Agustus lalu, baik dalam realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor pembinaan, pemulihan keuangan negara dari sektor perdata dan tata usaha negara, serta penyelamatan keuangan negara dari sektor korupsi.
Capaian pemerintah dalam pemberantasan korupsi juga terlihat dalam indeks persepsi korupsi, dan menunjukkan perbaikan, baik dari segi peringkat maupun skor.
Dibandingkan dengan negara tetangga, peringkat Indonesia dalam indeks persepsi korupsi untuk tahun 2015, berada di posisi 15 untuk peringkat regional dan 88 untuk peringkat global, dengan skor 36, yang menunjukkan kenaikan peringkat.
Sementara Singapura yang berada pada peringkat 2 untuk peringkat regional dan 8 untuk peringkat global dengan skor 85, menunjukkan penurunan peringkat dan skor. Malaysia juga turun peringkat dan skor, dengan berada pada peringkat 9 untuk regional dan 54 untuk global dengan skor 50.
Peringkat Indonesia, lebih tinggi dibandingkan Filipina (16 regional, 95 global, skor 35), Vietnam (17 regional, 112 global, skor 31), dan Myanmar (24 regional, 147 global, dan skor 22).
Atas capaian itu, tentu saja tak membuat pemerintah berpuas diri. Pemerintah justru mempercepat penegakan hukum dengan melakukan revitalisasi dan reformasi hukum berdasarkan nawacita.
Program revitalisasi hukum menjadi agenda strategis pemerintah untuk memulihkan kepercayaan publik serta menciptakan keadilan dan kepastian hukum.
Setidaknya terdapat tujuh langkah revitalisasi dan reformasi hukum. Pertama, terkait pelayanan publik dengan melakukan pendaftaran izin tinggal terbatas secara elektronik; pemberian hak warga binaan (remisi, asimiliasi, cuti menjelang bebas, cuti bersyarat, cuti mengunjungi keluarga, pembebasan bersyarat) berbasis IT; pendaftaran kewarganegaraan/naturalisasi secara elektronik.
Lalu, pendaftaran paten, merek, dan desain industri secara elektronik; percepatan pelayanan SIM, STNK, BPKB, SKCK; pembentukan tim terpadu pemberantasan pungli atau suap; dan pelayanan bantuan hukum berbasis IT.
Kedua, dalam penyelesaian kasus, dengan melakukan pembentukan satgas penyelundupan penyelesaian kasus HAM masa lalu, penyederhanaan penanganan perkara tilang, penanganan hukum kasus karhutla, pencegahan tindak pidana korupsi melalui penguatan fungsi Tim Pengawal Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan Pusat (TP4P) dan Tim Pengawal Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan Daerah (TP4D).
Lalu penyelesaian sengketa bisnis; dan optimalisasi pemanfaatan pelaporan LHA (Laporan Hasil Audit), LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan), dan informasi dari PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) dalam penanganan tindak pidana asal dan TPPU (tindak pidana pencucian uang).
Ketiga, penataan regulasi, dilakukan dengan penguatan pembentukan peraturan perundang-undangan; revitalisasi evaluasi peraturan perundang-undangan; dan penataan data base peraturan perundang-undangan.
Keempat, pembenahan manajemen perkara, dilakukan dengan data base penanganan perkara terbarukan dan terintegrasi antarpenegak hukum; tata kelola kasus korupsi; unit khusus percepatan penanganan kasus; tata kelola benda sitaan dan barang rampasan; pendampingan jaksa dalam penyidikan; penyelesaian perkara secara cepat, sederhana dan murah; dan penegakan hukum berbasis due process of law yang ketat.
Kelima, penguatan SDM, dilakukan dengan perekrutan dan promosi berbasi kinerja di Kejaksaan dan Kepolisian, penambahan jumlah penyelidik, penyidik, dan penuntut di KPK, dan penguatan fungsi koordinasi dan supervisi KPK kepada penegak hukum dan Kepolisian dan Kejaksaan.
Keenam, penguatan kelembagaan, dengan polisi komunitas, penanggulangan kelebihan daya tampung lapas, reorganisasi lembaga kejaksaan berdasarkan fungsi, penguatan Komisi Kepolisian Indonesia, penguatan Komisi Kejaksaan, perubahan organisasi MA dan badan pengadilan di bawahnya berdasarkan kinerja, dan anggaran pengadilan berbasis kinerja.
Ketujuh, pembangunan budaya hukum melalui penanganan berbagai kasus intoleransi.
Seperti ungkapan terkenal dari negarawan Romawi, Lucius Calpurnius Piso Caesoninus, "fiat justitia ruat caelum", yang artinya "hukum harus ditegakkan, meskipun langit runtuh".
Pewarta: Budi Setiawanto
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2016