Yogyakarta (ANTARA News) - Program Studi Forensika Digital Magister Teknik Informatika Program Pascasarjana Fakultas Teknologi Industri Universitas Islam Indonesia Yogyakarta merancang kurikulum pendidikan bidang keamanan komputer yang dibutuhkan masyarakat dan industri.
"Salah satu ciri khas yang menjadi keunggulan dari kurikulum tersebut adalah memberikan fokus pada keahlian forensika digital yang relatif masih sangat sedikit di Indonesia," kata dosen digital forensik Magister Teknik Informatika Program Pascasarjana Fakultas Teknologi Industri (FTI) UII Yudi Prayudi di Yogyakarta, Selasa.
Ia mengatakan era digital telah membawa perubahan dalam gaya hidup manusia. Oleh karena itu, kemudian dikenal istilah "digital workstyle" dan "digital life style".
"Digital workstyle" adalah lingkungan pekerjaan yang berjalan dengan dukungan teknologi informasi, sedangkan "digital life style" adalah aktivitas hidup sehari-hari yang selalu terkait dengan teknologi informasi.
"Hal itu terlihat pula dari aktivitas kehidupan manusia modern saat ini dari mulai bangun tidur sampai tidur kembali hampir tidak pernah terlepas dari interaksi dengan berbagai peralatan yang berbasis pada teknologi informasi," katanya.
Menurut dia, hal itu terlihat pula dari sejumlah data statistik yang menunjukkan bagaimana perkembangan penetrasi teknologi informasi pada kehidupan manusia.
Di Indonesia, data menunjukkan bahwa terjadinya peningkatan yang sangat signifikan dari pengguna internet, layanan "mobile", dan berbagai produk media sosial terutama di facebook, twitter dan whattsap.
Oleh karena itu, muncul kemudian berbagai potensi ancaman baru pada masyarakat "cyber" yang juga akan berdampak pada masyarakat nyata, dikenal dengan istilah "cyber crime, cyber threats, cyber war, cyber terrorism".
Dalam hal ini apa yang umumnya ditemukan dalam ruang kehidupan nyata, pada prinsipnya ditemukan pula pada ruang kehidupan maya, hanya dengan cara yang berbeda.
"Dengan kata lain, cybercrime adalah cara-cara baru menjalankan kejahatan tradisional dalam ruang maya dengan bantuan komputer dan teknologi informasi," kata Kepala Pusat Studi Forensika Digital (Pusfid) UII itu.
Ia mengatakan faktor paling penting untuk menghadapi kemungkinan berbagai "computer attack" yang menimpa sebuah institusi adalah faktor manusianya. Survei yang dilakukan PWC menunjukkan bahwa 42 persen ketahanan lembaga terhadap serangan ditentukan oleh edukasi dan "awareness security" dari para pegawainya.
Dengan demikian, pegawai selain sebagai aset SDM juga menjadi elemen penting dari faktor terlindunginya lembaga dari kemungkinan menjadi korban "computer attack".
Untuk itu sudah selayaknya siapa pun yang menjadikan komputer dan teknologi informasi sebagai media utama untuk menjalankan aktivitas bisnisnya menempatkan faktor edukasi dan "security awareness" sebagai kemampuan dasar dari setiap pegawainya.
"Dalam upaya mendukung hal itu kami merancang kurikulum pendidikan bidang computer security," kata Yudi.
Pewarta: Bambang Sutopo Hadi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016