Kematian Raja Bhumibol, monarki terlama yang memerintah di dunia, menimbulkan pertanyaan apakah kembalinya Thailand ke pemerintah sipil dapat tertunda dan rencana pemilihan umum pada 2017 mungkin akan didorong mundur oleh pemerintah militer.
Thailand sudah memulai setahun berkabung untuk Raja Bhumibol, yang meninggal di usia 88 pada Kamis (13/10) lalu, seperti yang dikutip dari Reuters.
Kabinet meminta "kemeriahan" dihindari selama 30 hari ke depan dan orang-orang diminta memakai pakaian hitam selama masa berkabung.
Surat kabar The Bangkok Post melaporkan kematian sang raja tidak mempengaruhi rencana pemilu tahun depan.
"Pemerintah telah membenarkan komitmen untuk mengikuti peta jalan pemilu yang dijadwalkan tahun depan," demikian tulisan dalam koran tersebut.
Weerachon Sukondhapatipak, juru bicara pemerintahan militer menolak mengomentari pembahasan tersebut.
"Ini bukan waktu untuk mendiskusikan politik," kata dia kepada Reuters.
Raja Bhumibol mendapat pengabdian dari rakyat Thailand karena membantu masyarakat miskin di pedesaan, termasuk proyek pengembangan agrikultural. Dia juga dipandang sebagai sosok yang menstabilkan negara yang sering dilanda kekacauan politik ini.
Pemerintahan militer meyakinkan bahwa perekonomian dan pemerintahan akan berjalan normal setelah kematian sang raja.
"Semua proses akan sesuai pemetaan," kata Deputi Perdana Menteri Wissanu Krea-ngam dalam wawancara televisi.
Kepala dewan penasihat kerajaan Thailand akan menjadi pemimpin sementara negara tersebut berkabung dan menunggu putranya, Putra Mahkota Pangeran Maha Vajiralongkorn, untuk resmi menggantikan.
Pemerintah Thailand memperketat sensor terhadap media asing setelah kematian sang raja.
Menteri luar negeri Thailand dalam pernyataan pekan lalu mengkritik pemberitaan media asing terhadap kematian raja dan juga laporan sejumlah media bahwa masa berkabung dipandang "manipulatif dan provokatif".
Penerjemah: Natisha Andarningtyas
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016