Pria yang hobi bermain sepakbola itu mulai menjauh dari lingkungan sosialnya seiring menghilangnya kemampuan indera penglihatannya.
Namun, kecacatan tak menyurutkan kecintaan Halim pada dunia olahraga.
Tak lagi bisa memainkan bola bundar seperti biasanya, dia masih bisa memilih olahraga lari.
"Saya tuna netra karena penyakit saraf ablasio di usia 15 tahun. Saya suka olahraga sejak SMP, sepakbola. Jadi berhubungan sama lari," ujar dia saat ditemui ANTARA News di Stadion Gelora Bandung Lautan Api, (GBLA), Gedebage, Bandung, Minggu siang.
Hingga pada 2010, Halim mampu membuktikan diri bahwa keterbatasan bukan halangan bagi seseorang untuk berprestasi.
Melalui penyelenggaraan Pekan Paralimpik Daerah (Peperda) 2010, dia sukses menyabet emas pertamanya untuk kategori lari.
Tahun berikutnya, Halim bahkan mampu menyabet dua perak di ajang ASEAN Paragames untuk kategori yang sama.
Tahun lalu, dia berhasil meraih emas di ajang yang sama yang berlangsung di Singapura.
"Emas pertama didapat 2010 di Peparda Kota Bandung. 2011, itu ASEAN Paragames, saya mendapat dua medali perak," kata dia.
Tak melulu lari, Halim juga tercatat menjadi pemegang emas untuk kategori lompat jauh kategori T/F11 putra (tuna netra total) di Pekan Paralimpik Nasional (Peparnas).
Tahun ini dia sukses mempertahankan tradisi emas untuk kontingen Jawa Barat.
"Lompat jauh, Alhamdulillah target emas tercapai. Latihan terus, semangat jangan sampai turun. Latihan pagi sore, sejam," katanya.
Ia mengaku kadang dilanda kebosanan. Namun untuk memacu semangatnya, ia memikirkan bonus yang akan diterimanya jika berprestasi. Ia juga tidak ingin mengecewakan keluarga yang telah mendukungnya.
"Untuk memacu, (berpikir) kita ini atlet difabel jadi sudah merasakan prestasi, pemerintah kasih bonus, lalu keluarga terus mendukung," kata Halim.
Halim mengalahkan empat pesaingnya, termasuk rekan satu timnya, Ruli Alkahfi Mubarok dengan catatan lompatan terbaik sejauh 5,16 meter, 0,02 meter lebih jauh dari Ruli.
Prestasi yang dia raih lambat laun meningkatkan rasa percaya dirinya. Secara lantang Halim berucap pada dunia bahwa dia tak berbeda dengan orang normal kebanyakan.
"Saya lari tidak khawatir, soalnya sudah ada insting. Kesulitan memang untuk mobilitas. Tuna netra itu dibilang enggak bisa lihat ke depan, diremehkan. Difabel itu enggak bisa apa-apa. Ada juga putus asa, tetapi semenjak saya berprestasi saya bisa, ya percaya diri naik. Saya sama seperti kalian kok," tutur dia.
"Alhamdulilah (sekarang) terangkat derajatnya. Dulu menjauh dari lingkungan. Sekarang enggak lagi. Olaharaga, kepercayaan diri jadi lebih tinggi. Apalagi, sudah berprestasi," imbuh Halim.
Bagi dia, melatih insting, imanijasi dan latihan rutin menjadi modal penting meraih asa mendulang prestasi.
"Imanjinasi lebih tinggi. Latihan lompat jauh pernah enggak sampai di pasirnya. Hanya di papin bloknya pernah. Latihan memang berat, tetapi dicoba enggak ada yang enggak bisa," kata dia.
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2016