Jakarta (ANTARA News) - Bank Dunia meluncurkan Gugus Tugas Kekerasan Berbasis Gender Global (GGBV) untuk memperkuat respons institusi lembaga keuangan multilateral itu terhadap proyek yang terkait dengan eksploitasi dan penganiayaan seksual.
"Kami memiliki zero-tolerance untuk kekerasan berbasis gender," kata Presiden Grup Bank Dunia Jim Yong Kim dalam keterangan tertulis, Sabtu.
Menurut Kim, Bank Dunia telah mengundang sejumlah sosok terkemuka untuk menjadi anggota GGBV guna memberikan masukan terhadap tim manajemen mengenai sejumlah pengukuran yang diperlukan untuk mendukung kerja Bank Dunia dalam permasalahan ini.
GGBV akan berisi sejumlah pakar terkait kekerasan berbasis gender, yang didukung tim kecil staf spesialis Bank Dunia, dalam rangka menanggulangi kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak.
Gugus tugas tersebut bakal menggunakan pendekatan untuk mengidentifikasi ancaman dan menerapkannya kepada beragam proyek Bank Dunia untuk mencegah dan merespons kekerasan berbasis gender tersebut.
"Bank Dunia telah menginvestasikan jutaan dolar dalam proyek pemebangunan yang bertujuan mengatasi kekerasan melawan perempuan dan anak-anak puteri di beragam sektor yang berbeda, mulai dari kesehatan dan pendidikan hingga infrastruktur dan layanan publik," katanya.
Presiden Bank Dunia juga menyatakan kerja gugus tugas ini juga mengambil pelajaran berdasarkan bukti dan pengalaman beberapa lembaga PBB dan LSM yang beroperasi pada tingkatan lokal, nasional, dan internasional.
GGBV akan diketuai secara bersama-sama oleh mantan Deputi Direktur Eksekutif Program UNICEF (Badan PBB untuk Anak-Anak) Geeta Rao Gupta, dan mantan Wakil Presiden Pembangunan Berkelanjutan Bank Dunia Katherine Sierra.
Di Indonesia, terkait dengan kekerasan dalam rumah tangga, Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU Penghapusan KDRT) terhadap UUD 1945 yang diajukan seorang warga negara bernama Nuih Herpiandi.
"Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 2, 5, 6, dan 44 UU KDRT," ujar Nuih di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Kamis (6/10).
Pemohon berpendapat bahwa anak bukanlah bagian dari UU KDRT, karena menurutnya ketentuan tersebut hanya diperuntukkan untuk perselisihan antara suami dengan istri, serta pembantu rumah tangga.
"Dalam UU KDRT tidak terdapat kejelasan mengenai tindakan seperti menjewer atau memukul di bagian aman bagi anak yang sebenarnya bermaksud untuk mendidik bukan menyakiti," ujar Nuih.
Menurut Pemohon, setiap orang tua mempunyai hak untuk melakukan tindakan fisik terhadap anak-anaknya jika hal tersebut dimaksudkan untuk mendidik. Namun, ketentuan a quo justru membuat orang tua seolah-olah melakukan tindakan kriminal.
Pewarta: Muhammad Razi Rahman
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2016