"Mereka yang melupakan masa lalu, terkutuk akan mengulangnya" (George Santayana). Pemerintah Jerman pasca Perang Dunia II menggerakkan program Vergangenheitsbewaeltigung (Menguasai Masa Lalu) sebagai upaya mengungkap kekeliruan masa lalu demi tidak mengulangnya di masa depan.
Sasaran utama Vergangeheitsbewaeltigung adalah kejahanaman Adolf Hitler dengan segenap mesin rezim Nazi di masa Kekaisaran Ke Tiga di Jerman. Gerakan Vergangeheitsbewaeltigung di masa kini juga sedang dilakukan masyarakat mantan Jerman Timur terhadap otokritas yang dilakukan pemerintahan komunis.
Sosialisasi Vergangeheitsbewaeltigung Jerman dilakukan melalui kotbah di gereja dan pendidikan sekolah. Filosof Theodor Adorno melalui lektur "Apa Artinya: Bekerja Melalui Masa Lalu" mendukung upaya Vergangeheitsbewaeltigung agar bangsa Jerman dapat menyadari dosa masa lalu demi tidak mengulangnya di masa depan.
Orasi Adorno dianggap merupakan kritik implisit mau pun eksplisit terhadap pemikiran Martin Heidegger tentang Germania yang dipuja kaum Nazi Hitler.
Sukma Vergangeheitsbewaeltigung di sastra Jerman dapat ditemukan di dalam Deutschstunde mahakarya Siegfiried Lenz dan Danziger Trilogie mahakarya Guenter Grass. Kamp konsentrasi Dachau, Buchenwald, Bergen-Belsen dan Flossenburg dilestarikan sebagai museum kejahanaman Nazi Hitler, pendirian museum Holocaust dan prasasti-prasasti yang didirikan di titik-titik lokasi kejahanaman di Jerman merupakan ungkapan Vergangenheitsbewaeltigung Jerman dalam menyambut masa depan yang lebih beradab.
Vergangenheitsbewaeltigung juga diejawatahkan berbagai negara demokratis demi membangkitkan kesadaran atas dosa-dosa yang dilakukan oleh pemerintah masing-masing di masa lalu. Seperti misalnya gerakan kebenaran dan rekonsiliasi Afrika Selatan di masa kepemimpinan Nelson Mandella.
Dapat dikatakan bahwa glasnost yang diprakarsai Mikhail Gorbachev di Uni Sowyet juga Vergangenheitsbewaeltigung yang kemudian setelah runtuhnya Uni Sowyet dilanjutkan oleh negara-negara berdaulat di Eropa Timur mengungkap dosa-dosa pemerintah Uni Sowyet agar jangan sampai terulang di masa depan.
Pemerintah terdiri dari para manusia yang mustahil sempurna maka pemerintah juga mustahil sempurna. Setiap pemerintah pasti pernah melakukan kesalahan dalam menunaikan tugas kepemerintahan masing-masing. Termasuk pemerintah Republik Indonesia juga pernah melakukan kesalahan dalam perjuangan mengabdikan diri kepada negara, bangsa dan rakyat Indonesia.
Tragedi G-30-S terjadi akibat kesalahan pemerintahan Orde Lama. Tragedi Mei 1998 terjadi akibat kesalahan pemerintahan Orde Baru . Tragedi konflik SARA yang terjadi di berbagai daerah pada hakikatnya merupakan tanggung-jawab pemerintah Orde Reformasi.
Tragedi penggusuran yang kini sedang marak di berbagai pelosok Nusantara demi pembangunan infra struktur. Bahkan di Bukit Duri, 28 September 2016 penggusuran di lakukan pemerintah terhadap rakyat secara tidak manusiawi dalam makna melanggar hukum secara sempurna.
De facto sekaligus de jure, bangunan dan tanah di Bukit Duri masih dalam proses hukum di pengadilan negeri dan PTUN di Indonesia yang dipercaya oleh rakyat sebagai negara hukum.
Namun pemerintah DKI Jakarta sama sekali tidak peduli hukum, terbukti pada tanggal 28 September 2016 pemprov DKI Jakarta memerintahkan laskar satpolPP didampingi polisi bahkan TNI untuk membumi-ratakan Bukit Duri.
Berbagai pihak mulai dari para ahli hukum, hakim, pengacara, jaksa sampai anggota DPR faksi PDIP, Prof Hendrawan Supratikno, mantan Ketua MK Prof Dr Mahfud MD bahkan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly menegaskan bahwa menggusur bangunan dan tanah dalam proses hukum merupakan pelanggaran hukum secara sempurna. Namun secara gagah-perwira, pemprov DKI Jakarta maju tak gentar hukum menggusur Bukit Duri.
Yang lebih memprihatinkan adalah kenyataan bahwa pemprov DKI Jakarta secara sempurna melakukan pelanggaran hukum terhadap Bukit Duri tanpa ada pihak yang mampu dan mau mencegahnya. Seharusnya suatu pelanggaran hukum dicegah apabila belum dilakukan. Atau sang pelanggar hukum dihukum apabila sudah melanggar hukum.
Ternyata jangankan dihukum, ditegur pun tidak. Apakah semua itu memang merupakan upaya pembuktian bahwa NKRI sebenarnya bukan negara hukum sebab terbukti ada pihak yang dibolehkan leluasa melanggar hukum secara sempurna tanpa dihukum?
Menyadari kenyataan impunitas pihak tertentu boleh melakukan angkara murka pelanggaran hukum tanpa dihukum, maka dalam kesempatan ini dengan penuh kerendahan hati saya memberanikan diri memohon presiden Jokowi berkenan membentuk Komisi Kebenaran sebagai resusitasi Undang-Undang Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang sementara ini dimatisurikan oleh MK.
Tugas Komisi Kebenaran fokus pada upaya menemukan dan mengungkapkan pelanggaran-pelanggaran hukum seperti yang telah dilakukan Pemprov DKI Jakarta terhadap warga Bukit Duri.
Dikhawatirkan apabila pelanggaran hukum oleh Pemprov DKI Jakarta terhadap warga Bukit Duri tidak diungkap secara adil dan beradab maka pelanggaran hukum tanpa dihukum akan menular bahkan mewabah ke segenap pelosok Indonesia. Jika prahara peradaban itu benar-benar terjadi berarti lenyaplah apa yang disebut sebagai hukum dari persada Nusantara tercinta ini.
*) Penulis adalah seniman dan budayawan, pembelajar makna keadilan
Oleh Jaya Suprana *)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016