Canberra (ANTARA News) - Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Prof DR Anwar Nasution, mengatakan bahwa pihaknya bukanlah "Tuhan" melainkan hanya ibarat "Malaikat Rakib dan Atib" yang hanya mencatat perbuatan baik buruk lembaga pemerintah dalam pemakaian keuangan negara. "Artinya, 'follow up' sudah bukan lagi wilayah BPK, tapi sudah berada di tangan Polri," katanya menjawab pertanyaan mahasiswa Universitas Nasional Australia (ANU) dalam sesi tanya jawab setelah berbicara dalam forum diskusi Sekolah Riset Studi-Studi Asia dan Pasifik (RSPAS) ANU di Canberra, Jumat. Menurut Nasution, BPK terus memperbaiki kinerjanya dan kini telah menjadi lembaga tinggi negara yang paling transparan karena laporan-laporan kerja akuntannya dapat diakses publik dengan mudah melalui laman (situs Internet) resminya. "Tetapi, kita bukanlah Tuhan. Kita hanya malaikat" katanya. Namun, ia menilai, dibandingkan dengan kondisi BPK di era Orde Baru, maka BPK di era reformasi sangat independen, baik dalam anggaran maupun personel. Kendati BPK belum dapat mengaudit pajak perusahaan sesuai dengan undang-undang yang berlaku, namun BPK telah dapat mengaudit semua perusahaan milik negara (BUMN). Selama era Orde Baru, BPK tidak hanya diawasi pemerintah melalui anggaran, organisasi dan personelnya, melainkan juga melalui "tone" (bunyi) dari laporan audit yang dibuat. Bahkan, BPK ketika itu tidak dapat mengaudit "tambang emas" rezim saat itu, seperti Bank Indonesia (BI), Pertamina, dan Bulog, katanya. Di era reformasi, terutama selama BPK dipimpin dirinya, Nasution mengatakan bahwa pihaknya justru sangat independen dan publik dapat mengakses laporan-laporan audit yang dikeluarkan BPK. Keuangan BPK sendiri diaudit oleh akuntan independen untuk menjaga kredibilitas lembaga tinggi negara ini. Untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan akuntabel, pihaknya pun terus ikut aktif dalam meningkatkan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah (Pemda) dan pusat, kata Anwar. Terhadap Pemda, misalnya, BPK memulai pembenahan dan pemberdayaan dari memeriksa masalah "berapa dana anggaran yang disetorkan pemerintah pusat" dan "berapa yang sesungguhnya mereka terima" mengingat kapasitas kelembagaan Pemda yang sangat lemah sejak otonomi daerah diterapkan, katanya. Ekonom dari Universitas Indonesia (UI) itu mengatakan, kapasitas kelembagaan pemerintah daerah masih menjadi kendala dalam pelaksanaan otonomi daerah selama ini, padahal hal itu menjadi salah satu kunci bagi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah tersebut. "Tetapi, kelemahan dalam kapasitas kelembagaan itu juga masih terdapat di pemerintah pusat, seperti kelemahan di biro keuangan dan inspektor jenderal karena tidak semua memahami pembukuan yang benar," katanya. Penguatan kapasitas kelembagaan itu mutlak terus dilakukan untuk membantu pemda mencapai keberhasilan dalam pelaksanaan otonomi daerah, katanya. "Untuk memperbaiki kapasitas kelembagaan itu, BPK mengundang orang-orang dari Departemen Keuangan dan Departemen Dalam Negeri. Kita sarankan kepada pemda-pemda untuk menggunakan lulusan diploma tiga bidang akuntansi dari universitas di daerah masing-masing, karena mereka memahami pembukuan yang benar," katanya. Nasution yang berbicara dalam forum diskusi yang dimoderatori Kepala Divisi Ekonomi-Proyek Indonesia RSPAS ANU, Dr. Chris Manning, itu mengatakan bahwa akibat lemahnya kapasitas kelembagaan di lebih dari 500 kabupaten dan kota di seluruh Tanah Air, maka Pemda tidak mungkin dipaksa untuk bersaing dalam menarik investasi, seperti yang dilakukan Pemda di China (RRC). "Di China, pemda-pemda saling bersaing untuk menarik investasi langsung asing. Kalau di Indonesia, pemda-pemda kita bersaing untuk mencari pendapatan dari pajak," katanya. Anwar Nasution berada di Canberra sejak 11 April hingga Sabtu (15/4) untuk menghadiri pertemuan para akuntan publik dari BPK Australia, baik di tingkat pemerintah federal maupun negara bagian, serta bertemu pejabat terkait pemerintah dan anggota parlemen Negeri Kanguru itu. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007