Berkunjung ke area persawahan yang menerapkan sistem pengairan sawah tradisional (subak) bukan sekadar kunjungan belaka, namun juga menggali nilai-nilai sosial di dalamnya, yang kini kian terancam keberadaannya.


Bali, 11 Oktober 2016 (Antara) –World Culture Forum (WCF) 2016 telah dimulai. Membuka gelaran, peserta Kunjungan Budaya Subak yang terdiri dari para pembicara dan pembahas Forum Budaya Dunia ini mengunjungi Situs Warisan Budaya Dunia Subak di kawasan Jatiluwih, Tabanan, Bali, Senin (10/10). Kunjungan Budaya ini dirancang agar para peserta memahami ritme pembangunan kebudayaan di Bali, sesuai dengan tema utama WCF 2016 ‘Culture for an Inclusive Sustainable Planet’.

Sebelumnya, para peserta terlebih dahulu menuju Pura Basukaru untuk melihat upacara meminta air suci kepada Dewa dan berdialog interaktif bersama Direktur Yayasan Konservasi Sawah Bali, Phyllis Kaplan dan Dosen Hubungan Internasional Universitas Udhayana, Wiwik Dharmiasih. Selanjutnya, peserta menuju area persawahan untuk melihat langsung sistem pengairan yang dilakukan di kawasan tersebut.

Menurut Phyllis, pentingnya membuat sistem pengairan bagi kelangsungan hidup manusia. “Yayasan Konservasi Sawah Bali membuat program Economic Development with The Farmers, program yang mengajak para petani untuk menghasilkan tanaman organik. Dengan adanya gerakan ini, sistem pengairan (subak) dapat mengalirkan air lagi, sehingga para petani dapat meneruskan sistem yang telah dibentuk oleh para leluhur,” jelasnya.

Senada dengan Phyllis, Wiwik mengatakan bahwa subak merupakan aset penting di Bali, yang bukan hanya harus dijaga, namun juga dilestarikan keberlangsungannya. “Modern ini sudah banyak petani yang menanamkan pikiran kepada cucunya untuk tidak menjadi petani, melainkan menjadi dokter dan sebagainya. Pikiran seperti inilah yang pada akhirnya membuat subak terabaikan. Dengan adanya pembangunan ekonomi untuk sawah, dapat menimbulkan kembali kesadaran masyarakat untuk bisa bertani dan menghasilkan produk sendiri, tanpa harus mengambil barang dari negara lain,” ujar Wiwik.

Subak merupakan penyebutan sistem irigasi air di Bali, yang dibentuk sebagai sistem pengelolaan untuk memastikan agar air terdistribusikan dengan baik ke sawah-sawah di sebuah banjar (desa). Laiknya organisasi tradisional lainnya di Bali, subak memiliki filosofi Tri Hita Karana - sebuah filosofi yang mengajarkan bahwa kebahagiaan manusia akan tercapai bila manusia mampu menjaga keharmonisan hubungan antara tiga elemen, yaitu Parhyangan (Ketuhanan), Pawongan (Manusia), dan Palemahan (Alam).

Para peserta pun turut mendapatkan pengetahuan dari para pembicara akan hal-hal yang menjadi kendala bagi keberlangsungan sistem subak. Salah satu yang utamanya adalah karena tuntutan pembangunan yang begitu cepat di berbagai bidang, utamanya pariwisata, yang dampaknya kurang sejalan dengan nilai-nilai kearifan lokal yang dianut masyarakat setempat. Maka dari itu, subak menjadi salah satu topik utama dalam World Culture Forum 2016, karena merupakan contoh kompleksitas permasalahan yang dihadapi dalam upaya pelestarian kearifan lokal yang sejalan dengan tuntutan pembangunan di Bali sebagai basis pariwisata dunia. Untuk itu, pilihan upaya menggaungkan subak kepada masyarakat dunia menjadi pengetahuan berharga karena diharapkan dapat menjembatani interdependensi antara manusia, alam, dan ketuhanan.

Pewarta: PR Wire
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2016