"Dapat memperkaya dunia usaha karena dengan IoT tersebut perusahaan dapat memberikan layanan purna jual yang komprehensif dengan memanfaatkan sistem sensor, konektivitas internet, dan infrastruktur komputasi awan," kata Analis Telekomunikasi, Media, dan Teknologi Tim Riset DBS Sachin Mittal .
"IoT akan mengubah cara kita berbisnis, sebagaimana dilakukan internet pada 1990-an," katanya lagi dalam keterangan tertulis yang diterima Antara di Jakarta, Senin.
Sistem IoT yakni terhubungnya benda-benda yang memiliki sensor pintar di dalam sebuah ekosistem digital. Melalui jaringan internet, sensor pintar itu mengirimkan informasi terkait aktivitas pengguna ke server atau komputasi awan melalui aplikasi yang digunakan.
Semua data yang ada di server tersebut lalu diproses dan dianalisa. Hasilnya menjadi rekomendasi bagi pelaku usaha untuk mengeluarkan produk atau layanan jasa baru sesuai kebutuhan pelanggan, bahkan sebelum mereka sadari.
Artinya, dengan IoT dunia usaha dituntut semakin inovatif untuk menciptakan berbagai peluang bisnis baru dari setiap produk yang diproduksi.
Dalam riset berjudul "From Products to Services: The Next Internet of Things and How Asia Is Driving Its Adoption", Mittal mengungkapkan bahwa penerapan IoT tidak hanya bermanfaat bagi dunia usaha, melainkan juga pemerintah kota dalam memberikan pelayanan kepada warganya.
"Sistem smart city ini sekarang sudah mulai diterapkan oleh sejumlah pemerintahan di Asia. China bahkan akan mengembangkan konsep smart city di 202 kota seiring meningkatnya urbanisasi di negara tersebut," ujar dia.
Sementara di Singapura, sistem IoT akan digunakan untuk mengatasi keterbatasan layanan rumah sakit yang tidak sebanding dengan jumlah penduduk senior yang terus meningkat.
Melalui konsep layanan kesehatan jarak jauh, dokter dapat langsung memantau kondisi pasien melalui sistem informasi di rumah sakit.
Paling Agresif
Asia Pasifik merupakan kawasan yang paling agresif menerapkan sistem IoT, terutama Singapura dan Korea Selatan.
Menurut kajian Forrester Consulting, sekitar 58 persen perusahaan di Asia Pasifik sudah mengimplementasikan atau berencana menerapkan IoT dalam 24 bulan ke depan meskipun penerapan sistem ini memiliki kelemahan dalam hal keamanan dan kerahasiaan data pengguna.
Sementara itu, perusahaan konsultan Frost & Sullivan memperkirakan pertumbuhan rata-rata tahunan belanja sistem IoT di Asia Pasifik mencapai 34 persen selama periode 2014-2020.
Diprediksi total belanja IoT di kawasan ini mencapai 59 miliar dolar AS pada 2020. Kontribusi pertumbuhan tersebut terutama berasal dari penerapan IoT di sektor manufaktur.
Seiring meningkatnya penerapan IoT dalam kehidupan sehari-hari "mulai dari pelayanan kesehatan, transportasi, logistik, hingga pertanian" membutuhkan sistem operasional yang sama, meski produk yang digunakan berasal dari produsen berbeda.
Artinya, pemerintah dan pelaku usaha perlu membuat standardisasi protokol IoT yang dapat dipakai oleh seluruh jenis produk.
Hal ini penting dilakukan mengingat pada 2020 sekitar 80 persen pendapatan di sektor IoT akan berasal dari layanan jasa ini, termasuk layanan analisis data.
Lembaga riset teknologi informasi Gartner memperkirakan IoT akan mendorong peningkatan belanja jasa menjadi 263 miliar dolar AS dari 69,5 miliar dolar AS pada 2015, atau rata-rata pertumbuhan per tahun sebesar 23 persen. Gartner pun memperkirakan pemanfaatan IoT akan menciptakan nilai tambah hingga 1,9 triliun dolar AS pada 2020.
"IoT akan mengubah bagaimana bisnis dijalankan, termasuk struktur industrinya. Tapi peluang pertumbuhan dan pendapatan yang besar tidak bisa diabaikan, sehingga perusahaan yang paling awal mengadopsi sistem ini yang akan menuai keuntungan," kata Mittal.
Pewarta: Yashinta Difa
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016