Yangon, Myanmar (ANTARA News) - Myanmar memperketat keamanan di wilayah berpenduduk mayoritas Muslim dekat perbatasan dengan Bangladesh, kata pejabat, Senin, ketika pihak berwajib memburu para penyerang yang menewaskan setidaknya sembilan personel polisi.
Para petugas yakin anggota suku minoritas Rohingya Muslim melancarkan tiga serangan terpisah pada Minggu dini hari, dimana puluhan senjata dan lebih dari 10.000 peluru direbut dari polisi perbatasan.
Sembilan polisi tewas, satu hilang dan lima lainnya cidera. Delapan penyerang tewas dan dua tertangkap, kata polisi.
Rohingya yang sebagian besar tidak memiliki kewarganegaraan dan dibatasi gerakannya, merupakan mayoritas penduduk di bagian utara Provinsi Rakhine.
Pihak berwenang di kota Maungdaw pada Minggu mengumumkan perpanjangan perintah melarang perkumpulan oleh lima orang atau lebih dan memberlakukan jam malam mulai pukul 19.00 hingga 06.00.
Media pemerintah mengatakan militer -yang juga dikenal dengan Tatmadaw- telah mengangkut tentara dengan helikopter ke wilayah tersebut.
Foto-foto di media sosial menunjukkan truk-truk penuh dengan pasukan infanteri yang sengaja dikerahkan ke kawasan itu.
Tidak ada informasi terperinci yang dirilis mengenai operasi di kawasan dekat sebuah kantor penjaga perbatasan di desa Kyiganbyin, dimana sebanyak 90 penyerang menyita senjata dan lari ke perbukitan.
"Tatmadaw, polisi dan Kementerian Perbatasan bekerja sama untuk memastikan keamanan dan memulihkan hukum serta ketertiban," kata Min Aung, Menteri dalam pemerintah provinsi Rakhine, yang menolak mengungkap kekuatan pasukan yang dikerahkan ke kawasan itu.
Pembela hak asasi manusia mengungkapkan kekhawatiran bahwa warga sipil kemungkinan bisa tertangkap dalam penyisiran itu. Laporan yang tidak bisa diverifiksi dan diunggah dalam jaringan oleh pembela kelompok Rohingya menunjukkan bahwa penumpasan kekerasan kemungkinan tengah berlangsung.
Ye Htut, administrator untuk Maungdaw mengatakan ia tidak mengetahui situasi di sekitar Desa Kyiganbyin, yang berada di bawah kendali pasukan keamanan.
Warga Muslim di kota Maungdaw menutup toko-tokonya ditengah meningkatnya kehadiran pasukan keamanan, katanya.
"Semua pasukan keamanan dikerahkan di Maungdaw, jadi kami tidak khawatir soal keamanan. Semuanya baik-baik saja," kata Ye Htut.
Matthew Smith, pendiri kelompok kampanye Fortify Rights mengatakan, pembatasan terhadap populasi Muslim sudah ada dan menjadikan Provinsi Rakhine utara seperti "provinsi polisi, provinsi apartheid".
"Pelanggaran hak asasi manusia dalam konteks kontra-pemberontakan di utara provinsi Rakhine bukanlah hal baru," kata Smith.
"Pihak berwajib seringkali menuduh Rohingya terlibat dengan ekstremis bersenjata."
Hari Minggu lalu merupakan hari paling berdarah di provinsi itu sejak 2012, ketika lebih dari 100 orang tewas dalam bentrok antara Rohingya dan suku Rakhine penganut Buddha. Sekitar 125 ribu orang, mayoritas Rohingya, mash terusir dari rumahnya.
Penasihat negara dan Menteri Luar Negeri Myanmar, Aung San Suu Kyi --yang pada Agustus menunjuk mantan Sekjen PBB, Kofi Annan, mengepalai komisi penasihat untuk situasi di Rakhine-- membicarakan serangan itu dengan pejabat-pejabat keamanan dalam pertemuan darurat, Minggu, kata pejabat Kemenlu Kyaw Tin.
"Penasihat negara menginstruksikan kita untuk menangani isu ini dengan hati-hati sesuai hukum," kata Kyaw Tin kepada wartawan.
Para pejabat di Bangladesh mengatakan Myanmar telah menutup perbatasan setelah serangan itu.
Bangladesh mengerahkan petugas tambahan penjaga perbatasan, kata Mohammad Tanvir Alam Khan, komandan penjaga perbatasan Bangladesh.
Kepala polisi Myanmar Zaw Win mengatakan pasukannya menyelidiki kemungkinan kaitan antara penyerang dengan kelompok pemberontak.
Zaw Win juga menyebutkan penggerebekan narkoba besar-besaran oleh polisi di kawasan itu --sekitar 6 juta pil methamphetamine disita pada September-- sebagai kemungkinan pemicu serangan.
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016