Pengelola menerapkan tarif parkir maksimum, yaitu Rp5.000 per jam, tetapi di dalam masih banyak pungutan liar oleh preman yang berkeliaran di area parkir
Jakarta (ANTARA News) - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menyoroti maraknya pungutan parkir liar di Gelora Bung Karno, Jakarta, padahal tarif resmi di kawasan itu sudah tergolong mahal.
"Pengelola menerapkan tarif parkir maksimum, yaitu Rp5.000 per jam, tetapi di dalam masih banyak pungutan liar oleh preman yang berkeliaran di area parkir," kata Tulus melalui pesan singkat di Jakarta, Senin.
Dengan tarif resmi yang mahal tersebut, Tulus menilai pengelola parkir dan manajemen Gelora Bung Karno terkesan hanya mau memungut tarif saja tanpa memiliki standar pelayanan apa pun kepada konsumen.
Apalagi, pungutan liar yang dilakukan preman di dalam mencapai Rp10.000 per orang. Preman setengah memaksa bila konsumen menolak dan kendaraan terancam mengalami masalah sehingga mau tidak mau pengunjung membayar pungutan liar itu.
"Pungutan liar oleh preman saya alami sendiri saat menghadiri acara Garuda Travel Fair di Jakarta Convention Center pada Minggu (9/10). Banyak pengunjung yang mengalami hal serupa juga mengadu. Hal ini lazim terjadi setiap hari," tuturnya.
Kondisi tersebut, kata Tulus, jelas melanggar Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 2012 tentang Perparkiran dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
"Kalau ada pungutan liar seperti itu, apa gunanya banyak polisi dan pos polisi di dalam Gelora Bung Karno?" tanyanya.
Karena itu, YLKI mendesak manajemen Gelora Bung Karno dan polisi di kawasan Gelora Bung Karno menertibkan pungutan liar, bukan malah membiarkan dan memelihara. Bila tidak mampu menertibkan preman di area parkir, manajemen tidak berhak memungut tarif parkir, apalagi dengan tarif progesif.
"Kawasan Gelora Bung Karno yang merupakan fasilitas pemerintah karena berada di bawah otoritas Sekretariat Negara memang seharusnya bebas pungutan parkir," katanya.
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2016