Tarian sakral tersebut membuka Festival Pesona Selat Lembeh, pesta rakyat tahunan Kota Bitung yang kali ini juga menandai diperkenalkannya Bitung sebagai Kota Wisata.
ANTARA FOTO/Adwit B Pramono
Setelah berpuluhan tahun lebih dikenal sebagai kota pelabuhan dan industri, Bitung menyatakan siap menjadi destinasi pariwisata dunia.
Letaknya yang berada di antara Gunung Dua Saudara dan Pulau Lembeh, Sulawesi Utara, membuat Bitung dianugerahi keindahan alam yang indah.
"Kami dianugerahi keindahan alam yang luar biasa. Kalau Bitung awalnya dikenal sebagai kota pelabuhan dan industri, mulai saat ini Bitung dikenal sebagai kota wisata," kata Wali Kota Bitung Max J Lomban.
Pesona Bitung tidak hanya dari keindahan alamnya saja.
Posisi strategis kota Bitung di bibir Pasifik (Pacific Rim) membuat Bitung menjadi simpul pertemuan beragam budaya dan gerbang pertemuan berbagai bangsa dari Timur Indonesia seperti Filipina hingga Asia Timur. Kondisi itu menyumbangkan keragaman budaya kota Bitung sebagai kota multi-etnis serta multikultur.
Kekayaan budaya di Bitung juga disumbang dari keberadaan dan karakter etnis Sangihe dan etnis Minahasa sebagai etnis mayoritas, yang berdampingan harmonis dengan etnis-etnis lain seperti Tionghoa, Talaud, Gowa, Bugis, Jawa, dan lain sebagainya.
Bitung pun mempromosikan pesona wisata kotanya dengan program "Bitung Bahari Berseri".
"Kami ingin sekaligus memperkenalkan lima pilar pesona wisata, Pesona Maritim, Pesona Flora, Pesona Fauna, Pesona Sejarah, Pesona Religi dan Budaya. Warna-warni kota Bitung dengan segala pesona inilah yang ingin kami sebarluaskan kepada masyarakat Indonesia maupun mancanegara," tutur Max Lomban.
Pesona Bitung
Bitung menyimpan surga yang tersembunyi di dalam Selat Lembeh yang memiliki 95 titik selam.
"Keunikan Selat Lembeh terletak pada biota berukuran kecil, langka, dan tidak ditemukan di tempat lain karena bersifat endemik. Kekayaan bawah laut ini menjadikan Selat Lembeh dijuluki sebagai Surga Macro Photography," ujar Max Lambon.
Bitung juga memiliki Cagar Alam Tangkoko, rumah bagi ratusan mamalia, burung dan reptil serta amfibi.
Di hutan alam tersebut hidup dua primata endemik Sulawesi Utara yang terancam punah, yaitu Yaki (sejenis kera berbokong merah) dan Tarsius (primata kecil yang langka).
ANTARA FOTO/Yusran Uccang
"Banyak sekali hewan endemik di hutan Tangkoko, seperti monyet pantat merah, burung rangkong, burung-burung yang cuma bisa dilihat di sini karena mereka datang dari Australia pada September-Oktober, lalu baru pulang lagi pada Januari," jelas Max Lomban.
Tidak hanya itu, kekayaan fauna yang ada di Taman Wisata Batu Putih, Taman Wisata Batu Angus seperti pohon enau, woka, ebony hingga pohon bitung, juga menjadi destinansi yang tak boleh dilewatkan.
Bitung juga menawarkan kawasan ekowisata untuk menyusuri hutan mangrove sekaligus menikmati keindahan pantai di Kawasan Ekowisata Pintu Kota, Ekowisata Kareko dan Ekowisata Pasir Panjang.
Monumen bersejarah juga terserak di kota itu, seperti Monumen Trikora, Monumen Jepang, Kapal Karam/Mawali Wreck, Aer Prang dan masih banyak lagi.
Pesona religi pun menjadi andalan Bitung. Patung Yesus setinggi 35 meter menjulang di atas Kelurahan Doorbolaang Kecamatan Lembeh Selatan, Pulau Lembeh. Tingginya bahkan melebihi Patung Yesus yang terkenal di Brasil.
ANTARA News/Monalisa
Patung Yesus itu menghadap langsung Selat Lembeh. Dari area Patung Yesus, pengunjung bisa menikmati keindahan Selat Lembeh.
Sejarah panjang Bitung sebagai kota industri juga dijadikan daya tarik bagi wisatawan.
"Industri juga kita jadikan destinasi. Wisatawan melihat bagaimana menangkap ikan tuna dan cakalang di laut kemudian diproses di pengalengan. Namun, karena tidak mungkin mengganggu produksi di pabrik jadi difilmkan dalam durasi sekitar 10 menit," jelas Max Lomban.
"Di sini juga berlimpah kuliner enak yang masih jadi andalan kami itu ikan," tambahnya.
Bitung bersolek
Setelah mendeklarasikan diri sebagai Kota Wisata, Bitung menargetkan kedatangan pengunjung hingga 10.000 orang per bulan tahun depan.
Berdasarkan data Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kota Bitung, total kunjungan di Kota Bitung mencapai 35.973 orang periode Januari hingga Agustus 2016, terdiri dari 19.264 wisatawan domestik dan 16.709 wisatawan asing.
Ini berarti Bitung harus lebih bekerja keras untuk memikat para wisatawan.
Namun, Bitung masih menghadapi berbagai keterbatasan termasuk terbatasnya jumlah hotel, pemandu wisata, hingga akomodasi.
"Geliat pariwisata di kota Bitung baru setahun terakhir. Dengan peningkatan jumlah wisatawan, memang terasa bahwa akomodasi kita sudah harus ditingkatkan," kata Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kota Bitung Ritta Tumewu.
Ia mengatakan sudah ada sejumlah investor yang akan membangun hotel di Kota Bitung.
Saat ini baru ada 16 resort yang sebagian besar berada di Pulau Lembeh, sedangkan jumlah hotel masih sedikit dari itu bahkan belum ada hotel bintang lima. Masyarakat Bitung menangkap peluang tersebut dengan menyediakan rumahnya sebagai homestay untuk pengunjung.
"Kami menargetkan 10.000 kamar hotel sudah ada dalam empat tahun ke depan. Itu akan dimulai dengan 1000 kamar dalam waktu dekat," jelas Wali Kota Bitung Max Lomban.
Ia menegaskan, Bitung segera bersolek. Masyarakat Bitung juga didorong untuk bersiap diri.
Max Lomban mengatakan, Pemerintah Kota Bitung sedang merancang APBD tahun 2017 untuk membangun kota wisata Bitung. Ia menargetkan dana sekitar Rp20 miliar untuk perbaikan tempat-tempat destinasi, infrastruktur jalan, bidang kesehatan, hingga pendidikan untuk penyuluhan pada masyaraka dan pelatihan pemandu wisata.
"Terkait infrastruktur jalan nanti yang pegang dari dinas Pekerjaan Umum, terkait dengan bidang kesehatan ke dinas kesehatan, sedangkan pendidikan untuk mempersiapkan tour guide ke dinas pendidikan. Kami merancang APBD tahun depan. Kalau tahun ini baru memperlihatkan bahwa kita punya potensi pariwisata," tuturnya.
Ia pun mengundang para investor hotel serta agen-agen travel untuk mendatangi Bitung.
"Mari sama-sama, support kami, kita sama-sama mau menjual Bitung sebagai Kota Wisata," ujar Max Lomban.
ANTARA News/Monalisa
Video:
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2016