Ucapan Ahok itu bermakna memang ada orang yang menggunakan ayat tersebut dalam konteks pemilihan kepala daerah di Jakarta, khususnya menyangkut larangan memilih pemimpin non-muslim. Jadi titik tekannya adalah kalimat 'membohongi pakai ayat', bukan ay

Jakarta (ANTARA News) - Wakil Katib Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta Taufik Damas menilai tidak ada ucapan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang menistakan Alquran ketika berbicara di hadapan warga Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu pada 27 September 2016, waktu dia menyebut-nyebut Alquran Surat Al Maidah ayat 51.

"Dari rekaman yang berdurasi satu jam 43 menit itu, saya tidak melihat ada kata-kata Ahok yang menistakan ayat Alquran sebagaimana ramai direspons oleh masyarakat belakangan ini," kata Taufik di Jakarta, Jumat, serta menyarankan warga melihat video yang asli seutuhnya untuk mengetahui apa yang sesungguhnya dikatakan Ahok.

"Saya perhatikan ucapan Ahok itu tidak bermaksud melecehkan ayat dalam surat Al-Maidah itu. Ucapan Ahok itu bermakna memang ada orang yang menggunakan ayat tersebut dalam konteks pemilihan kepala daerah di Jakarta, khususnya menyangkut larangan memilih pemimpin non-muslim. Jadi titik tekannya adalah kalimat 'membohongi pakai ayat', bukan ayatnya yang membohongi," katanya.

Taufik mengatakan rekaman video pembicaraan Ahok menjadi perbincangan karena isi potongan video berdurasi 30 detik yang beredar hanya memuat pernyataan: "Bapak Ibu enggak bisa pilih saya, karena dibohongin pake surat Al-Maidah 51 macem-macem itu. Itu hak Bapak Ibu ya. Jadi kalau Bapak Ibu perasaan enggak bisa pilih nih, karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya, enggak papa. Karena ini kan hak pribadi Bapak Ibu. Program ini jalan saja. Jadi Bapak Ibu enggak usah merasa enggak enak dalam nuraninya enggak bisa pilih Ahok".

Menurut Taufik, dalam rekaman video itu cukup jelas bahwa yang dituju dalam kalimat Ahok adalah orang-orang yang menggunakan ayat untuk kepentingan politik, bukan menganggap Surat Al-Maidah 51 sebagai kebohongan.

Alumnus Universitas Al-Azhar itu menyatakan bahwa tidak semua orang yang membawa-bawa ayat Alquran dalam konteks pemilihan kepala daerah berarti membohongi masyarakat karena memang ada yang tulus meyakini larangan memilih pemimpin non-muslim dengan dalil ayat Alquran.

"Itu harus dihargai. Namun, dalam politik tak menutup kemungkinan ada orang yang menjadikan ayat-ayat hanya sebagai alat politik. Memperlakukan ayat-ayat sebagai alat politik. Justru inilah yang berbahaya, karena berpotensi mengaburkan fakta politik yang sebenarnya," kata dia.

Oleh karena itu, menurut Taufik, sebaiknya masalah suku, agama, ras dan antar-golongan benar-benar dihindari dalam politik karena selalu melahirkan kontroversi tak berujung.

Lebih baik, ia melanjutkan, masyarakat diajak berpikir kritis mengenai calon pemimpin yang mengikuti pemilihan kepala daerah.

"Pilkada kan bukan hanya di Jakarta, tapi juga ada di daerah lain. Sikap kritis dan obyektif harus dikedepankan dalam melihat proses Pilkada ini," tuturnya.

Dengan demikian, ia mengatakan, masyarakat bisa memilih pemimpin yang benar-benar akan memberikan maslahat sebesar-besarnya.

"Dalam kaidah fikih dikatakan, tasharruful imam 'ala ra'iyyatihi manuthun bil maslahah; kebijakan seorang pemimpin harus bermuara pada kemaslahatan rakyatnya," ucapnya.


Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2016