Makassar (ANTARA News) - Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu Indonesia (Apegti) Sulawesi Selatan, mendesak pemerintah mengubah sistem tata niaga gula untuk menjaba stabilitas harga. Ketua Apegti Sulsel, Akifuddin di Makassar, Jumat, mengatakan, kecenderungan naiknya harga gula akibat adanya pihak-pihak tertentu yang menguasai sebagian besar stok gula nasional alias monopoli. Selama ini, lanjutnya, masyarakat hanya mengkonsumsi gula impor karena belum mendapatkan pasokan dari produksi dalam negeri, akibatnya harga gula di tingkat pengecer mengalami kenaikan padahal harga gula di pasar dunia saat mengalami penurunan. Akifuddin menduga, beberapa diantara mereka yang melakukan monopoli gula sengaja mengurangi pasokan ke pasar sehingga harga gula naik. Hal ini tentu saja memberikan keuntungan lebih banyak kepada pemonopol gula. Bila melihat harga gula di pasar dunia yang mencapai sekitar 430 dolar Amerika Serikat atau Rp3.870.000 per ton pada tahun 2006, harga gula eceran di dalam negeri mencapai sekitar Rp6.500 per kilogram. "Seharusnya dengan harga gula di pasar dunia yang saat ini mencapai sekitar 340 dollar Amerika Serikat (Rp3.060.000) per ton, harga gula di tingkat importir terdaftar maksimal Rp4.600 per kilogram," jelas Akifuddin. Namun dia menyayangkan, harga gula hingga ke tingkat distributor pun telah naik hingga mencapai Rp5.900 per kilogram padahal harga gula di pasar dunia saat ini mengalami penurunan. Sebab itu, Akifuddin berharap agar pemerintah merombakan total sistem tata niaga yang berlaku saat ini yang cenderung melegalkan monopoli. Menurut dia, sebelum tata niaga mengenal Importir Terdaftar (IT) seperti yang diberlaku saat ini, tidak pernah terjadi gejolak harga. Dia mencontohkan, saat pemerintahan Gus Dur, impor gula dibebaskan kepada siapa saja yang sanggup melakukan sehingga membuat harga gula di tingkat eceran relatif lebih rendah karena terjadi persaingan alias tidak ada monopoli.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007