Deputi Direktur Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan OJK Tris Yulianta dalam diskusi berjudul "Inovasi Teknologi Perbankan dalam Antisipasi Cyber Crime" di Jakarta, Kamis, mengatakan selain kejahatan siber, potensi risiko yang dihadapi bank khususnya risiko operasional, hukum, dan reputasi juga bertambah.
OJK mencatat laporan Fraud terkait dampak penggunaan "mobile banking" dan "internet banking" hingga Juni 2015 sebanyak 3.173 kasus dengan nilai kerugian mencapai Rp104,58 miliar.
Jumlah kerugian dalam penggunaan TI untuk aktivitas perbankan melonjak tajam dibandingkan pada 2014 sebesar Rp 23,7 miliar, meskipun kasusnya lebih banyak yaitu 53.302 kasus.
"Selain karena malware, ini juga disebabkan rendahnya kesadaran nasabah terhadap penggunaan electronic banking," ujar Tris.
Di sisi lain, ia memaparkan bahwa layanan perbankan berbasis TI memudahkan masyarakat untuk melakukan transaksi keuangan melalui berbagai media elektronik seperti ATM, KIOSK, kartu kredit, komputer pribadi, tablet, atau ponsel pintar.
Pergeseran penggunaan layanan perbankan dari kantor cabang melalui layanan elektronik ini dipengaruhi berbagai faktor mulai dari lokasi yang jauh, waktu yang terbatas, atau transportasi yang sulit.
Untuk bank, membangun layanan elektronik juga lebih menguntungkan dari segi modal investasi karena biaya pembukaan satu kantor cabang bisa mencapai Rp1 miliar.
Kegiatan perbankan berbasis elektronik di Indonesia terus berkembang dari 4,73 miliar transaksi bernilai Rp5.495 triliun pada 2013 menjadi 5,69 miliar transaksi dengan nilai Rp6.447 triliun pada 2014.
"Karena itu selain menyiapkan regulasi khusus untuk meningkatkan keamanan layanan perbankan elektronik, OJK secara berkala juga melakukan pemeriksaan terhadap kegiatan e-banking di setiap bank," kata Tris.
Pewarta: Yashinta Difa
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016