Topan itu dikabarkan menewaskan sekitar 25 orang saat melintasi jalur "Hispaniola", kepulauan Karibia, yang terbagi atas Haiti dan Republik Dominika.
Pejabat baru mulai meninjau dampak kerusakan.
Topan Matthew bergerak dengan kecepatan 230 kph, menumbangkan pohon, papan iklan, hingga menara sinyal telepon. Topan itu pada Selasa bergerak mendekati Les Cayes, kota pesisir di wilayah baratdaya Haiti.
Bencana itu ditambah dengan kenaikan permukaan laut membuat kapal nelayan di pantai bergerak hingga ke daratan.
Seorang ibu beserta dua anaknya, dan satu orang anak kecil tewas tenggelam akibat luapan air sungai beberapa mil dari Les Cayes.
Meteorolog mengatakan Topan Matthew saat ini adalah yang terkuat dalam setengah abad terakhir.
"Tiap orang terdampak, saat ini kami kehilangan arah," kata Selio Dorval, 30 tahun.
Ia berusaha memperbaiki atap rumahnya dengan lapisan kayu tipis, di sampingnya terlihat perahu bersandar di jalanan.
"Saya tinggal di jalan sekarang, rumah hancur, saya punya anak, dan tak punya tempat tinggal," kata Dorval.
Pria itu menghabiskan waktu dua malam dalam sekolah menengah atas yang sementara difungsikan sebagai kamp darurat.
Sejarawan mengatakan, Les Cayes sempat diterjang badai selama dua kali di Abad ke-18. Namun, kota itu bangkit hingga menjadi pelabuhan penting ekspor kopi dan bahan parfum, vetiver.
Les Cayes juga pintu masuk terdekat menuju Ile-a-Vache, pulau yang diproyeksikan pemerintah Haiti sebagai tujuan wisata internasional.
Dataran rendah Ile-a-Vache merupakan salah satu jalur lintasan topan, dan otoritas terkait belum dapat menghubungi petugas pulau untuk mendata tingkat kerusakan.
Sebagian besar rumah di Les Cayes kehilangan atap sehingga tak dapat dihuni.
Bantuan dari luar belum dapat didistribusikan ke Les Cayes serta kota terdampak lainnya karena jalanan utama di ibukota Port-Au-Prince tak dapat dilewati akibat luapan air sungai menghancurkan jembatan.
Sementara itu, helikopter tak dapat melintas karena tebalnya awan dan hujan.
Kondisi di Rumah Sakit Umum "Immaculate Conception" di kota cukup suram. Pasien terjebak di bangsal yang atapnya bocor, dan sebagian besar dokter tak terlihat sejak sebelum badai terjadi.
Dalam bangsal bersalin, sejumlah ember berisi limbah cair tergeletak di kasur, tampaknya telah tersimpan selama beberapa hari.
Seorang ibu, Joulentah tampak menjaga anaknya yang berusia 14 bulan, Jouvensly. Anak itu sempat dirawat karena sakit diare dan panas.
Dokter menyarankan agar ia diinfus, tetapi tak ada petugas di rumah sakit yang mampu menyediakannya.
"Saya tidak punya uang dan tidak tahu harus ke mana. Anak ini menangis karena lapar, tetapi saya tidak punya apa pun untuknya," kata Joulentah, yang baru memberi nama pertama untuk anaknya. Demikian laporan Reuters.
(Uu.KR-GNT/B002)
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016