Jakarta (ANTARA News) - Perjalanan satu bangsa tak dapat dilepas dari sejarah angkatan bersenjatanya, mengingat keberadaan tentara merupakan bukti suatu negara mampu mempertahankan kedaulatan dari serangan atau agresi penjajah.
Namun tidak hanya bertahan dari ancaman pendudukan bangsa asing, adanya tentara merupakan jaminan bahwa kedaulatan yang datang dari, oleh, dan untuk rakyat terjamin pelaksanaannya.
Kedaulatan rakyat itu, bagi para pemikir kontraktarian seperti Thomas Hobbes, John Locke, juga Rousseau hanya mampu terjamin jika lembaga keamanan seperti angkatan bersenjata dimiliki suatu negara.
Pasalnya, rakyat mengikat dirinya sebagai warga negara melalui kontrak sosial dengan harapan, hak mendasar seperti kehidupan, kebebasan, dan kepemilikan dapat dilindungi.
Dalam konteks itu, jaminan atas hak hidup, kebebasan dari penjajah, dan perlindungan terhadap kepemilikannya hanya mungkin terwujud jika satu negara memiliki angkatan bersenjata.
Alhasil, angkatan bersenjata diarahkan untuk netral, bekerja profesional sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, dan tidak terafiliasi oleh kepentingan atau kelompok tertentu.
Keberadaan angkatan bersenjata di Indonesia pun dimulai dari semangat yang sama, yaitu untuk kemaslahatan dan kedaulatan rakyat, serta keutuhan negara.
Angkatan bersenjata pertama negeri ini bermula dari Badan Keamanan Rakyat (BKR), terbentuk kurang dari satu minggu setelah kemerdekaan. Nama itu kerap berganti menjadi Tentara Keamanan Rakyat, Tentara Republik Indonesia, hingga dua tahun setelah merdeka menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Kiprah TNI tampak cukup berat di periode awal kemerdekaan hingga memasuki era reformasi. Dalam rentang waktu itu, negeri ini menghadapi agresi hingga dua kali, pemberontakan kaum separatis, misalnya saja DI/TII pimpinan Kartosoewiryo dan PRRI/Permesta, insiden kudeta 1965, perjuangan mempertahankan Irian Barat, GAM, OPM, referendum Timor-Timor, hingga demonstrasi massal dari 1997 hingga 1998.
Dalam masa tersebut, banyak citra buruk ditimpakan pada tentara, misalnya saja dugaan pelanggaran "hak", sikap "tidak netral" karena terlibat dalam parlemen dan sederet tuduhan lainnya.
Namun, terlepas dari situasi itu, sebagian besar rakyat masih percaya dan menaruh harapan, TNI merupakan otoritas yang mampu diberi amanah menjaga kedaulatan dan keutuhan negara.
Waspada citra buruk
Akan tetapi, banyak pemberitaan saat ini justru mencoreng citra baik TNI di mata publik. Misalnya saja, kasus pembunuhan, perampokan, hingga keterlibatan sebagai pengedar sekaligus pemakai narkotika oknum tentara kerap ditemukan. Bahkan kasus teranyar adalah aksi pemukulan oknum tentara terhadap wartawan.
Sekitar dua hari lalu, seorang wartawan televisi nasional mengaku dipukul oleh oknum tentara saat sedang meliput dua hari lalu di Madiun. Sebelumnya kasus kekerasan serupa juga terjadi melibatkan oknum TNI Angkatan Udara, menimpa wartawan yang meliput bentrokan di Medan.
Tak hanya itu, kasus lain yang "mencoreng" citra TNI juga terjadi belum lama ini.
Oknum TNI dikabarkan terlibat perampokan uang senilai Rp10 miliar. Sementara itu untuk kasus narkoba, seorang oknum tentara di Bone juga dikabarkan terlibat dalam transaksi barang haram itu senilai Rp60 juta. Kasus yang lebih "fenomenal" juga dugaan oknum TNI terlibat kasus pembunuhan santri padepokan Taat Pribadi yang akrab disebut Dimas Kanjeng.
Berkaca dari situasi itu, persoalannya kemudian yang patut dipertanyakan, apakah sebenarnya ada celah dalam proses kaderisasi atau perekrutan anggota tentara? Pasalnya, sebab dari masalah semacam itu mesti dilacak hingga akar persoalan. Dalam konteks ini, proses seleksi anggota merupakan titik awal yang perlu mendapat sorotan.
Terkait hal itu, beberapa proses seleksi tentara nyatanya dicoreng kasus suap dan percaloan.
Kasus bulan lalu menunjukkan 11 oknum TNI di Komando Daerah Militer VII Wirabuana tertangkap menjadi calo dan menerima suap dalam penerimaan calon tentara.
"Kami mendapat laporan soal dugaan suap ini sejak sembilan bulan lalu, dan kami melakukan penyelidikan secara internal. Kami temukan ada 11 oknum anggota yang terlibat, di antaranya terdapat beberapa perwira. Kami sudah memberi hukuman beragam, di antaranya hukuman disiplin dan ada empat yang diajukan ke Mahkamah Militer," kata Panglima Kodam VII Wirabuana, Mayor Jenderal TNI Agus Surya Bakti di Makassar beberapa waktu lalu.
Pangdam menambahkan, total uang sogok mencapai lebih dari Rp1,5 miliar. Oknum itu mengaku mampu mengurus penerimaan calon tentara agar dapat lolos seleksi, katanya.
Meski demikian patut disadari, sikap dan perilaku sejumlah oknum memang tak dapat menggeneralisasi keseluruhan lembaga.
Akan tetapi, keberadaan oknum tampaknya dapat tumbuh bak jamur, alias "mati satu tumbuh seribu".
Artinya, TNI seyogianya perlu mempertimbangkan kembali bagaimana profesionalisme dan dedikasi terhadap tugas pokok dijalankan secara penuh oleh para anggota.
Penyelidikan internal secara berkala, pengawasan rutin dan ketat, berikut pendidikan terhadap para anggota TNI mesti ditempuh guna menguatkan karakter tentara yang amanah dan berbudaya.
Profesionalisme kerja perlu dipastikan dijalankan tiap anggota, mengingat saat ini ancaman tidak hanya datang dari luar, tetapi dari dalam, salah satu bahaya terbesar adalah godaan korupsi dari para kelompok penguasa juga pengusaha.
Dengan begitu, TNI harus terus berpegang teguh terhadap marwahnya sebagai pihak yang netral, imparsial, dan profesional, sehingga ucapan Dirgahayu 71 Tahun yang ditujukan padanya pun bermakna sebagai pengingat untuk terus berbenah.
Oleh Genta Tenri Mawangi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016