"Salah satunya adalah peninjauan kembali batas umur perkawinan di dalam Undang-Undang (UU) Perkawinan yang belum sesuai dengan UU Perlindungan Anak," ujar Peneliti PSKK UGM Dewi Haryani Susilastuti dalam Policy Corner, di Kampus Magister Doktoral Studi Kebijakan (MDSK) UGM, Yogyakarta, Selasa.
Ia mengatakan, pihaknya secara konsisten terus mendorong agar pemerintah mengajukan kembali kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menaikkan batas usia minimal bagi perempuan menikah, dari usia 16 tahun menjadi 18 tahuan atau lebih.
Pasalnya, kata dia, sebelumnya MK telah menolak gugatan soal menaikkan batas usia minimal bagi perempuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pada Juni 2015.
"Dengan menaikkan usia minimal bagi perempuan untuk menikah dari 16 tahun menjadi 18 tahun atau lebih, maka pemerintah bisa meminimalisasi angka kematian ibu melahirkan nantinya. Ini permasalahan yang sangat serius dan harus segera direspon," kata dia.
Strategi lainnya untuk mengurangi jumlah pernikahan anak, menurut dia dengan adanya perbaikan ekonomi melalui pengembangan kewirausahaan di seluruh daerah yang melibatkan masyarakat setempat.
Melalui kehadiran wirausaha di daerah maka tercipta lapangan kerja yang berimplikasi pada penurunan angka kemiskinan.
Selain itu, tambah dia, adalah peningkatan akses pendidikan kepada seluruh masyarakat.
"Karena kemiskinan adalah penyebab utama dari perkawinan anak maka tentu hal ini tidak bisa dipisahkan deengan pendidikan, pengembangan enterpreneurship, maupun pembangunan ekonomi pada umumnya," kata Dewi.
Pewarta: RH Napitupulu
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2016