Yogyakarta (ANTARA News) - Seorang peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM) mengatakan bahwa berdasarkan penelitian terhadap perempuan usia 10-54 tahun, sekitar 26 persennya menikah di bawah umur atau di bawah usia 19 tahun.
"Data menunjukkan, di antara perempuan usia 10-54 tahun, ada 2,6 persen yang menikah pertama kali pada usia kurang dari 15 tahun dan 23,9 persen menikah di usia 15-19 tahun. Artinya, sekitar 26 persen perempuan di bawah umur telah menikah sebelum fungsi-fungsi organ reproduksinya berkembang secara optimal," peneliti di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM Dewi Haryani Susilastuti dalam Policy Corner di Kampus Magister Doktoral Studi Kebijakan (MDSK) UGM, Yogyakarta, Senin.
Ia mengatakan, UNICEF dalam Annual Report Indonesia 2014 menyatakan satu dari enam anak perempuan di Indonesia telah menikah pada usia di bawah 18 tahun.
Ia menjelaskan, berdasarkan data tersebut, Indonesia termasuk juara dalam kaitannya dengan angka perkawinan anak dan predikat tersebut tentu saja tidaklah membanggakan dan tidak menggembirakan.
"Bocah nduwe bocah, anak yang mempunyai anak. Dia masih anak-anak namun sudah punya anak. Perkawinan anak adalah persoalan, mengapa? Karena mereka secara psikis maupun fisiologis belumlah siap untuk menjadi seorang ibu," jelas Dewi.
Ia mengungkapkan, hasil penelitian yang dilakukan pada 2011 di delapan kabupaten, antara lain Rembang, Grobogan, Lembata, Sikka, Timor Tengah Selatan (TTS), Dompu, Indramayu, dan Tabanan, mencatat bahwa sebagian besar insiden perkawinan anak terjadi pada keluarga yang kepala keluarganya memiliki tingkat pendidikan rendah dan bekerja di sektor pertanian dengan penghasilan relatif kurang.
Jika melihat rasionya, lanjut Dewi, kemungkinan terjadinya perkawinan anak pada keluarga dengan kepala rumah tangga berpendidikan rendah empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga yang kepala keluarganya berpendidikan lebih tinggi.
Selain itu, katanya, insiden perkawinan anak berkaitan pula dengan struktur kesempatan, khususnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
"Struktur kesempatannya sangat kecil. Sudah tidak sekolah, kemudian dianggap cukup umur menurut ukuran mereka, ya mau apa lagi? Pilihan yang logis bagi mereka adalah menikah. Jika orang tuanya miskin, menikah adalah jalan untuk mengurangi beban orang tua," ujar Dewi.
Pewarta: RH Napitupulu
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016