Benur udang vanamei lebih mahal jika dibandingkan udang windu, biaya pemeliharaan juga tinggi, tapi kelebihannya udang vanamei ini lebih tahan penyakit, risiko gagal panen kecil dan harga jual udang lebih tinggi."Lampung Timur (ANTARA News) - Petambak udang tradisional di Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung banyak beralih membudidayakan udang vanamei (Litopenaeus vannamei) ketimbang udang windu yang selama ini dibudidayakan karena hasilnya lebih menjanjikan.
"Sekarang banyak petambak udang tradisional memilih udang vanamei untuk dibudidayakan ketimbang udang windu," kata Manto (36), petambak udang tradisional di Kecamatan Labuhan Maringgai, Lampung Timur, Jumat.
Menurut dia, alasan para petambak udang tradisional memilih budi daya udang vanamei karena udang ini lebih tahan terhadap penyakit dan juga hasil panennya bisa maksimal.
Dia menjelaskan perbedaan pemeliharaan dan perawatan antara udang vanamei dengan windu, terutama pada intensitas perawatan dan pemeliharaannya, selain modal untuk pemeliharan udang vanamei memang lebih besar dibandingkan udang windu.
Meski modal lebih besar, tapi bagi para petambak udang itu tidaklah menjadi soal karena risiko gagal panen udang ini kecil dengan harga jualnya juga lebih mahal.
"Benur udang vanamei lebih mahal jika dibandingkan udang windu, biaya pemeliharaan juga tinggi, tapi kelebihannya udang vanamei ini lebih tahan penyakit, risiko gagal panen kecil dan harga jual udang lebih tinggi," ujarnya pula.
Rozi, pedagang sekaligus pembina para petambak udang tradisional di Desa Bandar Negeri, Kecamatan Labuhan Maringgai menyebutkan harga jual udang vanamei ukuran berat (size) 100 sebesar Rp58 ribu per kilogram dan size 50 sebesar Rp75 ribu per kilogram.
"Patokan harga naik turunnya berkisar Rp4.000 ribu dari ukuran size 50 dan 100 itu," ujarnya pula.
Kabupaten Lampung Timur merupakan salah satu sentra penghasil udang windu di Provinsi Lampung.
Petambak udang tradisional di Kabupaten Lampung Timur antara lain terdapat di Kecamatan Labuhan Maringgai dan Pasir Sakti.
Pewarta: Budisantoso B dan Muklasin
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016