Jakarta (ANTARA News) - Tanpa bermaksud meremehkan hasil investigasi Depdagri dan kalangan pemerintah tentang keadaan IPDN di Jatinangor, Sumedang , Jabar, maka Komisi II DPR juga sedang bersiap melakukannya, diawali dengan pembentukan sebuah Panja segera. "Kami segera membentuk panitia kerja (panja) IPDN dengan target utama mengevaluasi eksistensi institut ini dari berbagai sisi serta kepentingan bangsa," kata salah satu anggota Komisi II DPR, Suharso Monoarfa, di Jakarta, Selasa (10/4) malam. Menanggapi lahirnya enam langkah pemerintah untuk mengatasi kasus kekerasan di lingkup Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), termasuk penerimaan praja baru ditunda satu tahun, Suharso Monoarfa mengatakan sebaiknya penundaan harus berdasarkan sebuah hasil evaluasi terlebih dahulu. "Perlu dilakukan evaluasi secara lengkap, terutama sistem dan metodelogi yang diterapkan, termasuk juga rasio pengajar-praja, rasio pengasuh (mentor)-praja, dan organisasi di ruang barak," kata anggota legislatif dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini. Hasil evaluasi ini nantinya digunakan untuk memosisikan kembali IPDN sebagai pendidikan tingkat lanjutan setelah APDN yang harus dihidupkan kembali di daerah, katanya. "Namun, disesuaikan dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, di mana pendidikan kedinasan hanya dikecualikan untuk TNI dan Kepolisian, maka ini berart, IPDN dan APDN mesti diperlakukan sebagai perguruan tinggi negeri dengan bentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN), dengan perbedaan direkrut sebagai PNS dengan spesialisasi pemerintahan," urainya. Terkait kasus saat ini, yakni dugaan tindak kekerasan oleh belasan mahasiswa senior sehingga mengakibatkan tewasnya praja madya asal Provinsi Sulawesi Utara (Sulut), Cliff Muntu, 20 tahun, Suharso Monoarfa menegaskan, proses hukum terus dilanjutkan untuk mengungkap setuntas-tuntasnya insiden tersebut. Ditanya apakah penundaan penerimaan praja baru bisa mengurangi pasokan pamong praja ke daerah-daerah, anggota legislatif dari Provinsi Gorontalo ini, mengatakan, untuk kebutuhan ahli tata praja, dapat juga diambil dari pendidikan S-1 semua jurusan atau disiplin ilmu. "Tentu dengan memperhatikan kebutuhan strategis lainnya. Jadi, ini pararel dengan keinginan pemerintah untuk memperkecil rasio jumlah tenaga administrasi dan sebagai gantinya tenaga strategis. Maka akan lebih bagus S-1 dari berbagai disiplin ilmu plus pengetahuan kepemerintahan," ujarnya. Karena itu, demikian Suharso Monoarfa, sebaiknya penundaan bukan satu tahun, melainkan sesuai hasil evaluasi. Menjawab pertanyaan tentang adanya tuntutan para orang tua praja, agar semua mahasiswa di-"rontgen", Suharso Monoarfa mengatakan sangat setuju. "Setuju, bahkan harusnya general check up," tegas Suharso Monoarfa. (*)
Copyright © ANTARA 2007