Jakarta (ANTARA News) - Harga gas murah diprediksi akan mengundang investasi baru bidang industri, demikian disampaikan Dirjen Industri Kimia Tekstil dan Aneka Kementerian Perindustrian Achmad Sigit Dwidahjono.
"Kalau harga gas diturunkan itu bisa mendorong masukya investasi baru, misalnya di sektor industri petrokimia hulu dan antara," kata Sigit pada Seminar Nasional bertajuk "Efek Berganda dari Penurunan Harga Gas Industri dan Dampaknya bagi Perekonomian Nasional" di Jakarta, Kamis.
Menurut Sigit, masih banyak industri petrokimia hulu dan antara di Indonesia yang belum ada, sehingga 90 persen bahan baku yang dibutuhkan industri hilir petrokimia masih diimpor dari sejumlah negara.
"Hal ini membebani neraca perdagangan kita," tukas Sigit.
Tidak adanya industri petrokimia hulu dan antara tersebut disinyalir karena harga gas di dalam negeri masih mahal, terlebih industri petrokimia menyerap penggunaan gas yang tinggi yakni sekitar 70 persen.
Sigit memaparkan, jika rata-rata harga gas untuk industri di berbagai negara di dunia berkisar antara 1,78 hingga 4,74 dollar AS per MMBTU, maka harga gas di Indonesia untuk industri saat ini mencapai 9 hingga 11 dollar AS per MMBTU.
"Kalau untuk industri yang menjadikan gas sebagai bahan baku, seperti industri pupuk, itu harganya berkisar antara 4,5 hingga 6,7 dollar AS per MMBTU," pungkas Sigit.
Menurut kajian Kemenperin, lanjut Sigit, jika harga gas di Indonesia turun menjadi 4 dollar AS per MMBTU maka akan mendatangkan penerimaan tambahan sebesar Rp31 triliun dari berbagai industri yang beroperasi di Indonesia, di luar investasi baru.
Artinya, lanjut Sigit, apabila harga gas tidak diturunkan, negara hanya akan menerima sebesar Rp53.86 triliun, tetapi apabila diturunkan menjadi 4 dollar per MMBTU maka akan terdapat penerimaan dari multiplier effect sebesar Rp85.84 triliun, sehingga terjadi surplus penerimaan sebesar Rp31.97 triliun.
Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016