London (ANTARA News) - Bagi Julia Neuberger, seorang rabi perempuan di London, keputusan Inggris untuk keluar dari Uni Eropa mempunyai dampak personal yang sangat besar: dia memutuskan untuk pulang ke Jerman dan menghapus semua kenangan menyakitkan yang harus dialami keluarganya pada masa kekuasaan Hittler.

Neuberger adalah salah satu di antara banyak warga Inggris beragama Yahudi yang memutuskan untuk kembali mendapatkan kewarganegaraan Jerman usai Brexit.

Undang-undang di Jerman memperbolehkan para pelarian, yang telah dihapus status kewarganegaraannya pada masa kekuasaan Nazi antara 1933 sampai 1945, untuk kembali ke negara tersebut.

"Brexit telah memaksa saya kembali ke Jerman. Pada usia 60-an ini, saya merasa sudah saatnya berdamai dengan masa lalu," kata Neuberger, yang ibunya meninggalkan Jerman menuju Inggris pada 1937 untuk menghindari pembunuhan massal Nazi terhadap Yahudi.

Dengan memegang paspor Jerman, Neuberger bisa dengan bebas bepergian dan tinggal ke negara-negara Eropa lain. Keuntungan itu mungkin tidak bisa dinikmati oleh warga Inggris setelah resmi keluar dari blok beranggotakan 27 negara tersebut.

Sebagian dari sekitar 260.000 warga Inggris beragama Yahudi lain masih menolak ide tersebut. Bahkan bagi Neuberger, keputusannya kembali ke Jerman bukan merupakan hal mudah mengingat beban sejarah yang sedemikian besar.

"Anak perempuan saya bahkan bertanya, kenapa mama mau kembali setelah perlakukan buruk mereka kepada kita?" kata Neuberger.

"Ada darah Jerman yang mengalir di tubuh saya," kata dia.

Kementerian Luar Negeri Jerman menyatakan bahwa sejak referendum Brexit pada Juni lalu, kedutaan mereka di London telah menerima 400an pertanyaan mengenai bagaimana mendapatkan kembali kewarganegaraan Jerman di bawah Undang-Undang Dasar pasal 116.

Hingga kini mereka telah resmi menerima 100 formulir permohonan.

Dalam pertemuan himpunan pengungsi Yahudi (AJR) yang dihadiri 100-an orang di London baru-baru ini, topik untuk kembali ke Jerman menjadi perbincangan utama.

"Ide itu mengejutkan banyak orang. Kami semua belum tahu masa depan akan seperti apa dan kami ingin memastikan anak-anak kami masih memperoleh akses ke Eropa," kata Michael Newman, kepala AJR.

Sementara anak-anak muda sebagaimana Newman melihatnya sebagai sebuah langkah politik, generasi pelarian Yahudi yang lebih tua masih harus berjuang dengan beban emosional dan ingatan tentang bagaimana mereka harus melarikan diri.

"Saat anak saya menyatakan keinginan kembali ke Jerman, saya sangat ketakutan," kata Frank Harding (70).

Dia mengatakan bahwa keputusan anaknya seperti pengkhianatan bagi nilai-nilai keluarga. Selama ini Harding memboikot semua produk Jerman dan tidak pernah mengizinkan tamu dari negara itu memasuki rumah.

Namun dia kini menyadari bahwa keputusan anaknya adalah hal penting bagi generasi muda yang harus tetap memperoleh akses ke Eropa.

(G005)



Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2016