Jakarta (ANTARA News) - Para menteri keuangan ASEAN sepakat membentuk gugus tugas untuk mengkaji berbagai kemungkinan membentuk dana infrastruktur pada level ASEAN mengingat adanya aliran modal masuk ("capital inflow") dalam jumlah besar dan tingkat tabungan yang besar di negara-negara ASEAN. Kesepakatan itu menjadi salah satu prioritas kunci yang dirumuskan dalam Pertemuan Menteri Keuangan ASEAN (AFMM XI) 4-5 April lalu di Thailand, seperti disampaikan Menkeu Sri Mulyani di Jakarta, Selasa. Prioritas lain, katanya adalah pengembangan pasar modal di ASEAN yang lebih terintegrasi dan lebih likuid, memberi dukungan lebih besar untuk integrasi sektor keuangan melalui peningkatan fungsi lembaga penyedia jasa keuangan di antara komunitas ASEAN untuk memperbaiki arus barang dan investasi, dan menyepakati kerjasama otoritas perpajakan untuk penghindaran pengenaan perpajakan berganda (P3B) "Pengembangan pasar modal di ASEAN yang lebih terintegrasi dan likuid dilakukan seperti mendirikan `ASEAN bond portal` dengan platform informasi secara tersentralisasi dengan pasar obligasi ASEAN, dan membuat `bond linkage`, yaitu perdagangan obligasi dengan surat elektronik ASEAN. Untuk pasar modal, kerjasama ASEAN tidak dibatasi hanya di ASEAN, tapi juga ditambah tiga negara mitra yaitu China, Korsel dan Jepang," katanya Untuk integrasi sektor keuangan, Menkeu Sri Mulyani mengatakan ASEAN dan tiga negara mitra dialog itu sepakat menindaklanjuti "Inisiatif Chiang Mai" dengan membuat kesepakatan bilateral yang mencadangkan dana dalam jangka pendek bila satu negara mengalami kesulitan likuiditas dalam neraca pembayarannya. "Memang ada beberapa pemikiran agar kerjasama bilateral di bawah `Chiang Mai Initiatives` dibuat seperti multilateral dan ini masih perlu dipertimbangkan," katanya. "Seperti replika IMF, tapi disebutnya `ASEAN Monetary Fund`. Ide ini belum dibahas secara detil, tapi ada sedikit indikasi mengubah mekanisme bilateral ke multilateral," tambahnya Menkeu mengemukakan dalam pertemuan tesebut, para menkeu ASEAN mengkhawatirkan "capital inflow" di pasar berkembang ASEAN yang sangat besar akan menimbulkan kompleksitas dalam pengelolaan kebijakan makro bagi pemerintahan negara ASEAN. "Aliran modal masuk yang besar akan mendorong apresiasi mata uang secara drastis dan itu mengancam neraca perdagangan terutama ekspor. Thailand sudah merasakan akibat dari apresiasi yang sangat tinggi ini," katanya. Hal lain yang juga akan diwaspadai, menurut Menkeu, adalah kemungkinan meningkatnya jumlah uang beredar yang akan memacu inflasi, di samping harga minyak dunia yang tidak juga menurun. "Oleh karena itu, mungkin ini salah satu jadi tantangan pengelolaan kebijakan makro di kawasan ASEAN," kata Menkeu. Terkait dengan percepatan pembentukan masyarakat ekonomi ASEAN (AEC) dari 2020 menjadi 2015, Menkeu menjelaskan para menkeu ASEAN sepakat untuk melakukannya dengan cara mengindikasikan sub sektor keuangan yang bisa diprioritaskan dan diintegrasikan lebih cepat, seperti perbankan, asuransi, dan perdagangan obligasi atau sekuritas. "Untuk pengembangan integrasi pasar modal di tingkat regional, masih ada catatan serius. Walaupun sepakat, Indonesia mengharapkan untuk negara yang belum punya pasar modal seperti Laos, atau Kamboja, dan Vietnam yang baru mempunya pasar modal, perlu diberikan kebijakan penguatan sebelum mereka bisa terintegrasi sepenuhnya," katanya. Untuk pengembangan "ASEAN Single Window" (ASW) yang ditargetkan terbentuk pada 2008, Menkeu menjelaskan bahwa hal itu akan menjadi tantangan terbesar bagi Indonesia mengingat luasnya wilayah Indonesia dengan banyak pelabuhan yang tersebar di berbagai tempat. "Pelabuhan kita di mana-mana, arus barang lebih rumit. Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan negara yang secara geografis lebih kecil, sehingga kita harus bahas secara lebih `reasonable`," kata Menkeu. Sedangkan untuk penerapan "National Single Window" (NSW) pada 2007 menuju ASW 2008, pihaknya kini tengah melakukan ujicoba di Pelabuhan Tanjung Priok dan Batam, dengan terus memperhatikan kemungkinan penerapan NSW di pelabuhan lainnya, yaitu Tanjung Mas, Tanjung Perak dan Pelabuhan Belawan. "Di Tanjung Priok itu, dia mengadministrasikan 60-70 persen dari seluruh lalu lintas barang di Indonesia. Jadi kalau bisa di Priok, untuk pelabuhan lain mungkin menjadi lebih mudah," katanya. Pada intinya, kata Menkeu, penerapan ASW akan membuat pengiriman barang yang sudah dinyatakan "clear" di satu pelabuhan tidak perlu mengalami pemeriksaan berulang-ulang karena ijin tersebut akan mengikuti barang tersebut kemanapun ia pergi.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007