Jakarta (ANTARA News) - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan kekayaan warga negara Indonesia yang berada di Singapura mencapai Rp2.600 triliun atau sekitar 80 persen dari total harta kekayaan WNI di luar negeri.
"Studi sebuah konsultan international yang cukup kredibel menjelaskan, dari 250 miliar dolar AS (Rp3.250 triliun) kekayaan orang-orang dengan kekayaan sangat tinggi dari Indonesia di luar negeri, terdapat sekitar 200 miliar dolar AS (Rp2.600 triliun) disimpan di Singapura," kata Sri Mulyani.
Sri mengemukakan itu ketika menyampaikan keterangan pemerintah dalam acara sidang pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa.
Dari Rp2.600 triliun kekayaan WNI di Singapura, sekitar Rp650 triliun berada dalam bentuk "non-investable assets" seperti properti.
Sri juga menjelaskan posisi aset finansial luar negeri berdasarkan data Bank Indonesia pada triwulan I 2016 yang berjumlah Rp2.800 triliun.
"Rp2.800 triliun itu belum termasuk aset yang dimiliki SPV (special purpose vehicle) yang menjadi bagian kegiatan ekonomi bawah tanah WNI," ucap dia.
Keterangan Menkeu itu ditujukan untuk menjelaskan alasan mengapa rasio pajak atau perbandingan antara jumlah penerimaan pajak dibandingkan dan produk domestik bruto di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan negara berkembang lain.
"Rendahnya rasio pajak karena rendahnya kepatuhan. Wajib pajak terdaftar yang memiliki kewajiban sebanyak 18 juta, namun realisasi surat pemberitahunan tahunan pajak 10,8 juta atau 60 persen, maka masih ada potensi wajib pajak 40 persen dari yang terdaftar. Itu belum termasuk wajib pajak berpotensi yang belum memiliki nomor pokok wajib pajak," ucap Sri.
Dalam sidang pengujian UU Pengampunan Pajak, Sri Mulyani sebagai wakil pemerintah menolak permohonan uji materi UU Pengampunan Pajak dan menyatakan para pemohon uji materi tidak berkedudukan hukum.
Dia menyebutkan MK sudah menetapkan lima syarat kumulatif untuk mengajukan uji materi sebagai syarat kedudukan hukum, namun para pemohon hanya mampu memenuhi satu syarat saja.
"Para pemohon hanya memenuhi satu syarat, yaitu memiliki hak konstitusional kesamaan di hadapan hukum untuk mendapatkan kepastian hukum, sementara empat syarat lainnya tidak terpenuhi," ujar Sri.
Sidang berikutnya akan digelar Rabu pekan depan (28/9) dengan agenda mendengarkan keterangan ahli dari pihak pemohon.
Uji materi amnesti pajak ini meliputi empat perkara yang dimohonkan oleh Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia, Yayasan Satu Keadilan, Dewan Pengurus Pusat Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (DPP SBSI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI).
Presiden KSPI Said Iqbal menegaskan kebijakan amnesti pajak membuat hak warga negara yang tertib membayar pajak secara konsitusi dirugikan.
"Penjelasan secara ekonomi oleh Menkeu tidak mejelaskan kemudian bahwa UU Pengampunan Pajak tidak bertentangan dengan UUD 1945. Kami tetap berpendapat UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945," kata dia.
Pewarta: Calvin Basuki
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2016