Semarang (ANTARA News) - Struktur sosial yang feodal diskriminatif menyuburkan praktik korupsi politik, sebab struktur masyarakat seperti ini memberi peluang munculnya kekosongan moral, sehingga interaksi sosial tidak berproses secara egaliter.Hal itu disampaikan Hakim Agung Artidjo Alkostar di Semarang, Selasa, yang akan mempertahankan disertasi doktornya berjudul "Korelasi Korupsi Politik dengan Hukum dan Pemerintah di Negara Modern", di Universitas Diponegoro Semarang, Rabu (11/4). Artidjo, yang juga dosen Magister Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, menegaskan bahwa masyarakat feodal yang tidak egaliter tersebut menafikan kebutuhan sosial akan pentingnya kontrol terhadap kekuasaan. Menurut dia, kekuasaan politik pemerintahan memang merupakan sesuatu yang amat berpotensi jahat tetapi tetap diperlukan dalam kehidupan bernegara. "Tidak hanya kekuasaan absolut yang berpotensi korup, tapi kelemahan absolut juga berpotensi menimbulkan korupsi secara absolut," kata mantan pengacara LBH Yogyakarta itu. Ia mengemukakan, birokrasi yang merupakan bagian perpanjangan atau kelanjutan dari kekuasaan politik dan bertugas melayani kepentingan publik, dapat dan banyak berubah fungsi menjadi institusi yang harus dilayani atau mengubah hubungan transaksional yang kolutif. "Fenomena itu berkorelasi dengan tuntutan adanya keyakinan dan konsistensi suatu kode etik (code of conduct) serta peran hukum pidana korupsi bagi pejabat publik dan pejabat negara," katanya. Menurut Artidjo, korupsi politik pada pangkalnya ditimbulkan oleh pikiran, sikap, dan tindakan yang tidak bernilai dari pemimpin politik, yang merugikan perjalan politik negara dan bertentangan dengan akal sehat, kaidah, norma, moral, dan aturan yang berlaku. Penyebab korupsi politik, menurut dia, ada lima yaitu karena nafsu politik untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan, tersedianya sarana dan fasilitas yang steril dari budaya dialogis, tidak ada kontrol efektif dari rakyat, iklim sosial politik yang krisis keteladanan dan kevakuman moral, serta iklim penegakan hukum yang "tragikomis". Situasi "tragikomis" ditandai oleh kredibilitas aparat penegak hukum yang merosot, terjadi krisis institusi, dan merosotnya mental aparat penegak hukum. Dalam disertasi setebal 800-an halaman itu, Artidjo selain menganalisis korelasi korupsi politik dengan sosio politik, juga menelaah kaitan korupsi politik dengan kondisi sosial ekonomi, sosial kultural, sosial yuridis, dan hak asasi manusia. Artidjo akan mempertahankan disertasinya di depan Dewan Penguji Sidang Ujian Terbuka yang diketuai Rektor Undip Prof. Dr. dr. Susilo Wibowo, M.S.Med.,Sp. And dengan delapan anggota penguji. Bertindak selaku promotor Artidjo yaitu Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H. dan Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007