Kemudian, dua Midplaza, Hotel Intercontinental, Apartemen Paviliun, dan Citiwalk Sudirman.
Sementara mayoritas penghuni kawasan elite itu masih tidur lelap di dinihari, ternyata para PKL sudah mulai menata meja , kursi , layar, tenda, kompor, panci, piring, gelas masing-masing.
Bahkan ternyata ada PKL yang buka 24 jam. Produk yang dijual para PKL di kawasan elit itu juga sangat beraneka ragam. Mulai dari rokok, jamu, cemilan dalam kemasan, mie instan, nasi goreng, nasi kebuli, soto, sate, ayam goreng, pisang goreng, minuman dalam kemasan, jus dan lain sebagainya.
Rata-rata PKL mengaku bahwa mereka rutin membayar retribusi atau apa pun namanya agar bisa membuka usaha masing-masing di kawasan yang menurut peraturan daerah DKI Jakarta sebenarnya dilarang untuk usaha. Maka mereka selalu siap-siap untuk setiap saat digusur.
Menarik bagaimana mereka menganggap penggusuran terhadap mereka adalah suatu kewajaran, kelaziman bahkan keniscayaan kodrati. Dengan semangat patah-tumbuh-hilang-berganti para PKL setelah digusur juga selalu siap untuk menebus meja, kursi, layar, tenda, kompor, panci, piring, gelas yang disita oleh petugas penggusuran untuk kembali digunakan sebagai perlengkapan usaha masing-masing di lokasi masing-masing yang sudah terbiasa digusur.
Mereka sama sekali tidak menyalahkan para petugas maupun pemerintah DKI Jakarta yang menggusur mereka sebab tampaknya mereka sudah ikhlas menerima kodrat para PKL, yaitu setiap saat harus ikhlas untuk digusur.
Para PKL seolah menyadari makna falsafah terkandung di dalam Bhagavad Gita yaitu dalam kemelut kehidupan ini setiap insan manusia memiliki kodrat peran dan tugas masing-masing.
Memang ada pemerintah yang kodrat tugasnya adalah memerintahkan penggusuran, ada satpol PP yang kodrat tugasnya adalah melaksanakan perintah penggusuran dan ada PKL yang kodrat tugasnya adalah mencari nafkah sebagai PKL yang setiap saat wajib tulus ikhlas untuk digusur.
Kehadiran PKL di kawasan elite megapolitan Jakarta ternyata memiliki fungsi sosio-ekonomi kodrati. Kehadiran PKL di sana ternyata demi memenuhi kebutuhan para pekerja yang bekerja di gedung-gedung pencakar langit di sekitar mereka.
Pada saat makan siang dan makan malam maka berhamburanlah para pekerja yang bekerja di dalam ruang-ruang sejuk ber-AC di dalam gedung-gedung pencakar langit untuk melahap "lunch" dan "dinner" masing-masing di warung dan tenda para PKL di lorong-lorong sekitar gedung-gedung pencakar langit itu.
Bahkan para pekerja di restoran mewah di dalam gedung sejuk ber-AC Citiwalk Sudirman, Hotel Sahid dan Intercontinental, Midplaza ternyata selalu asyik makan siang dan makan malam di warung dan tenda PKL yang bertebaran di kawasan sekitar mereka.
Kehilangan
Tanpa para PKL, para pekerja di gedung-gedung pencakar langit supra mewah kehilangan tempat makan-minum masing-masing. Dompet para pekerja juga akan lebih cepat terkuras habis apabila mereka terpaksa makan minum di restoran mewah di gedung mewah di mana mereka bekerja.
Suatu adegan kemanusiaan kaliber "believe it or not" secara luar biasa menyentuh lubuk sanubari sempat saya saksikan pada suatu saat penggusuran dilakukan terhadap para PKL.
Pada saat jeda makan siang ternyata para satpol PP beserta laskar penggusur termasuk para pengemudi buldozer penggusur berhenti bertugas demi melahap makan siang mereka di warung PKL yang masih belum mereka gusur.
Setelah saat jeda makan siang selesai, langsung para satpol PP, laskar penggusur dan pengemudi buldozer kembali menunaikan tugas penggusuran terhadap warung PKL di mana mereka baru saja melahap makan siang.
Setelah tertawa sambil menangis menyaksikan realita adegan drama sekaligus komedi perjuangan para PKL dalam mencari nafkah bagi mereka dan keluarga masing-masing, saya tersadar bahwa peran para PKL dalam mekanisme penggerak ekonomi nasional Indonesia adalah maha besar, maha penting bahkan maha mutlak.
Justru para PKL adalah para pelaku ekonomi yang sebenarnya benar-benar mengejawantahkan semangat ekonomi kerakyatan menjadi kenyataan. Maka saya meyakini bahwa para PKL adalah para pejuang ekonomi sejati !
*) Penulis adalah seniman dan budayawan, sedang mempelajari makna ekonomi kerakyatan.
Oleh Jaya Suprana *)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016