Jakarta (ANTARA News) - Ketua Umum Dewan Pembina Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) HM Arum Sabil mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polri, dan Kejaksaan agar bersinergi mengungkap adanya dugaan direksi BUMN yang terindikasi menerima suap dari fee impor pangan, termasuk gula.
Arum kepada pers, Jumat di Jakarta juga mengemukakan, pihaknya mendesak agar oknum direksi BUMN yang diduga terindikasi menerima suap dari fee impor pangan dan gula yang di lakukan di Singapura itu agar segera diberikan sanksi hukum yang berefek jera.
Desakan tersebut disampaikan Arum terkait adanya informasi yang diterima KPK dari lembaga antikorupsi di Singapura, yakni Corruption Practices Investigation Bureau (CPIB ) yang menyebutkan adanya direksi BUMN yang menerima suap dari fee impor pangan.
Penerima suap diduga telah membuka rekening di Singapura untuk menampung fee dari perusahaan Panamex sebesar 50 dolar AS per ton dari 100 ribu "raw sugar" yang diimpor, sehingga total mencapai lima juta dolar AS atau setara Rp65 miliar. Raw sugar itu akan diproses menjadi gula putih agar bisa menstabilkan harga gula nasional.
Sebelumnya, pada 14 September 2016 Ketua KPK Agus Rahardjo menyebut masih adanya praktik korupsi yang dilakukan oleh direksi BUMN. Saat ini pihaknya sedang melakukan penyelidikan terhadap seorang direksi BUMN yang diduga menerima fee impor pangan tersebut.
Ketua Umum Dewan Pembina APTRI lebih lanjut mensinyalir bahwa semua izin impor gula yang diberikan kepada beberapa perusahaan BUMN maupun swasta terindikasi suap yang diberikan kepada oknum direksi BUMN maupun kepada oknum pejabat negara yang mempunyai kewenangan mengeluarkan izin impor gula.
Menurut Ketua Bidang Pemberdayaan Petani Dewan Pimpinan Nasional Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (DPN HKTI) itu, setiap tahun impor gula yang digelontorkan di negara yang dikenal dengan julukan negara agraris ini tidak kurang dari 3,5 juta ton.
Padahal, kebutuhan konsumsi langsung rumah tangga rata-rata sembilan kilogram per tahun per kapita. Dikalikan dengan jumlah penduduk Indonesia di kisaran 255 juta jiwa, maka total kebutuhan konsumsi gula rumah tangga hanya sebesar 2,3 juta ton per tahun, sementara total produksi gula nasional setiap tahun rata-rata 2,5 juta ton.
Dibandingkan dengan total konsumsi gula rumah tangga secara nasional yang hanya 2,3 juta ton, Indonesia punya kelebihan produksi sekitar 200.000 ton. Artinya, apa pun alasannya tidak perlu adanya impor raw sugar untuk diolah menjadi white sugar, terlebih jika untuk dipasarkan di segmen pasar konsumsi rumah tangga nasional.
Arum juga menduga adanya upaya untuk merekayasa persepsi bahwa harga gula mahal dan rekayasa penggelembungan data kebutuhan gula untuk dijadikan alat legitimasi pembenaran guna melakukan impor gula besar-besaran.
Ia juga mengatakan, masalah yang menjadi keprihatinan para petani tebu adalah hadirnya pabrik-pabrik gula baru yang hanya sebagai kedok untuk melakukan impor gula mentah. Terbukti pada 2015 pabrik-pabrik gula yang hanya sebagai kedok itu mengajukan izin impor yang jumlahnya hampir satu juta ton.
Pada 2016 ini, pabrik-pabrik gula tersebut telah mendapat izin impor yang jumlahnya mencapai ratusan ribu ton, bahkan ditambah dari perusahaan BUMN, Bulog,dan PT PPI yang juga mendapatkan izin impor raw sugar ratusan ribu ton dan digilingkan di pabrik gula yang hanya sebagai kedok melakukan impor gula mentah itu.
"Saya perlu tegaskan disini, petani tebu pada dasarnya menyambut gembira hadirnya pabrik-pabrik gula baru asalkan bukan sebagai kedok untuk melakukan impor gula mentah," tegas Arum.
Terkait dengan masalah itu Arum mendesak agar pabrik-pabrik gula dimaksud harus diaudit dan diinvestigasi karena pabrik-pabrik gula itu bukan hanya sebagai kedok untuk melakukan impor gula mentah, tetapi juga dijadikan alat pembobol uang negara di bawah BUMN.
Indikasinya, menurut dia ditunjukkan dengan adanya bank plat merah di bawah BUMN yang terindikasi masuk dalam perangkap pembiayaan pendirian pabrik gula yang hanya sebagai kedok untuk melakukan impor gula mentah.
(A015/A011)
Pewarta: Aat Surya Safaat
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016