Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia sedang mematangkan teknis pengamanan wilayah perairan Sulu yang rawan tindak perompakan dan penculikan awak kapal, menyusul penandatanganan kesepakatan bersama antara Presiden Joko Widodo dan Presiden Filipina Rodrigo Duterte, Minggu lalu.
Kesepakatan tersebut merupakan kelanjutan dari pertemuan trilateral antara menteri pertahanan Indonesia, Filipina, dan Malaysia yang diselenggarakan di Bali, Agustus 2016, yang salah satunya membahas tentang patroli maritim bersama.
"Kerja sama patroli maritim bersama yang sudah disepakati menhan di Bali semakin diperkuat dengan joint statement antara dua presiden. Kesepakatan itu akan dijabarkan secara operasional oleh menteri-menteri polhukam dan Angkatan Laut," ujar Wiranto saat ditemui di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Rabu malam.
Patroli laut bersama, menurut Menko Polhukam, harus ditindaklanjuti dengan pembentukan tata perilaku (COC), penentuan batas-batas dan koridor teritorial laut.
COC sendiri tidak mudah disusun karena sangat berkaitan dengan undang-undang yang berlaku di masing-masing negara, termasuk konstitusi Filipina yang melarang intervensi militer asing di wilayah kedaulatannya.
Namun, Wiranto menjelaskan bahwa kesepakatan antara Presiden Jokowi dan Presiden Duterte membuka peluang adanya kewenangan bagi aparat Indonesia untuk menangani para perompak yang seringkali menyasar kapal-kapal niaga yang diawaki warga negara Indonesia.
"Misalnya ada perampok yang lari ke perbatasan, kalau tidak ada kesepakatan (antarkepala negara) itu kita berhenti, tidak mengejar. Tetapi dengan adanya kesepakatan itu kita bisa kejar dan lumpuhkan mereka," kata dia.
Sebelumnya, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan bahwa penetapan rute pengamanan jalur laut bagi khususnya kapal-kapal niaga yang melintasi Indonesia, Malaysia, dan Filipina, sedang dikoordinasikan oleh TNI AL.
"Bagaimana agar kapal-kapal ini aman harus ada rute, nah rute ini yang paling tahu kan AL," ungkapnya.
Ia yakin pelaksanaan patroli maritim trilateral bisa dimulai tahun ini, setelah dirinya melakukan koordinasi lanjutan dengan Menhan Malaysia.
"Saya akan bertemu lagi sama Menhan Malaysia supaya mereka mau segera patroli di (perairan Sulu) yang sudah beberapa kali terjadi peristiwa penyanderaan," kata Menteri Ryamizard.
Setelah empat kali WNI menjadi korban penyanderaan oleh kelompok separatis Filipina, Abu Sayyaf, pemerintah meningkatkan keamanan dengan menyiagakan prajurit TNI untuk mengawal kapal-kapal dagang yang membawa batu bara ekspor ke Filipina.
Sementara itu, Wakil Menteri Luar Negeri RI AM Fachir menyatakan bahwa sembilan WNI yang masih disandera Abu Sayyaf, dalam kondisi baik.
Meskipun kelompok bersenjata tersebut memberikan tenggat waktu pembayaran tebusan hingga 20 September, Wamenlu optimistis para WNI bisa segera diselamatkan.
"Kita harus tetap optimistis lah, intinya kan kita tetap berkomunikasi di semua tingkat stakeholders'. Informasi yang kita dapat (mereka) aman, termasuk soal batas waktu," tuturnya.
Pewarta: Yashinta Difa
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016