Yogyakarta (ANTARA News) - Pinjaman luar negeri seharusnya ditekan hingga mencapai angka di bawah 40 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), melalui pemanfaatan sumber domestik di seluruh wilayah Indonesia untuk menutup tambahan defisit anggaran 2007. Pendapat itu dikemukakan Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi UGM, Prof Mudrajat Kuncoro Ph.D kepada ANTARA, Selasa, menanggapi kebijakan Bappenas yang menambah stok utang baru melalui International Development Bank (IDB) untuk menutup lebih dari 50 persen defisit APBN 2007. "Sangat disayangkan bila di tengah upaya penurunan utang luar negeri, pemerintah kembali terbujuk pinjaman berbunga lunak yang ditawarkan IDB dalam jumlah yang tidak sedikit," katanya. Bila hal itu dibiarkan, selamanya Indonesia akan tetap menjadi negara pengutang dan semakin jauh dari kemandirian. Menurut Mudrajat, sekecil apapun bunganya, pinjaman luar negeri riskan dengan pengaruh selisih kurs valuta asing. "Akan jauh lebih bijaksana bila pemerintah menutup defisit anggaran dengan dana yang terhimpun di SBI yang mencapai Rp230 triliun lebih," katanya. Untuk mengurangi ketergantungan pada luar negeri, pemerintah dapat memanfaatkan dana masyarakat yang terkumpul di SBI yang selama ini belum terpakai untuk dialirkan ke sektor riil. Sisanya dapat ditutup dengan penerbitan Surat Utang Negara (SUN) dan Obligasi Retail Indonesia (ORI). "Walaupun pembiayaan SUN dan ORI dianggap terlalu mahal karena bunga yang besar, tetapi jauh lebih baik dibanding menambah stok utang baru yang sangat tergantung pada naik turunnya kurs dolar AS," katanya. Menurut Mudrajat, untuk mencapai visi Indonesia 2030, pemerintah harus melepaskan diri dari tawaran pinjaman asing dan lebih fokus pada masalah perbaikan iklim investasi dalam negeri sehingga mampu mengoptimalkan sumber domestik. "Setidaknya pinjaman luar harus ditekan agar tidak melebihi 40 persen PDB sebagai modal dasar membangun kemandirian bangsa supaya dapat menembus 10 besar dunia," katanya. Jika pemerintah serius ingin mencapai visi tersebut, katanya, total stok utang harus ditekan hingga hanya mencapai 10 persen dari PDB, bukannya malah terus menambah stok utang baru dengan dalih pinjaman lunak berbunga ringan. (*)
Copyright © ANTARA 2007