Banda Aceh (ANTARA News) - Pusat Studi Gender (PSG) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh mengemukakan, sejak Maret 2005 hingga pertengahan 2006 tercatat 29 orang warga Aceh jadi korban perdagangan anak (trafficking). "Malaysia dan kota-kota besar seperti Banda Aceh, Medan, Sumut, dan Batam dicurigai sebagai daerah transit dan tujuan korban," kata Kepala PSG Unsyiah, Sri Walny Rahayu, pada seminar dan lokakarya tentang Pencegahan Trafficking (perdagangan manusia) di Banda Aceh, Senin. Ia menjelaskan, kasus-kasus kekerasan terhadap anak yang di dalamnya terkait dengan perdagangan anak adalah seperti teori gunung es, karena kasus yang berhasil ditangani secara hukum masih sangat sedikit dibandingkan banyaknya fakta yang ada. Sebuah laporan Pemerintah Amerika Serikat menyatakan, katanya, Indonesia sempat menduduki urutan ketiga soal trafficking, yaitu negara yang dianggap kurang serius dalam melawan perdagangan manusia, padahal korban telah banyak berjatuhan. "Aceh jangan sampai seperti Batam, setelah korban banyak berjatuhan baru bertindak, mulai dari sekarang kita harus mengantisipasinya," ujar Ayu. Dia menjelaskan, banyak faktor yang menyebabkan maraknya terjadinya trafficking, antara lain kemiskinan, ketiadaan akte kelahiran yang menyebabkan pemalsuan usia ketika mengurus dokumen perlengkapan pemberangkatan bermigrasi. Kurangnya perhatian pemerintah juga dianggap salah satu pennyebab, terjadinya perdagangan anak di tanah air. Ayu menyatakan pemerintah kurang perhatian dalam memperbaiki sistem pendidikan yang cenderung mahal, kurikulum yang terasa memberatkan, baik membuat bingung siswa maupun calon siswa. Hal itu tentunya akan mempengaruhi pola pikir sebagian masyarakat, mereka lebih memilih bekerja di sektor informal atau menikah bagi anak perempuan, karena dianggap tidak memerlukan prasyarat administratif. Itu semua merupakan peluang besar bagi trafficker (pedagang) untuk memberikan janji atau iming-iming akan mendapatkan pekerjaan sebagai pelayan restoran, pelayan toko, buruh pabrik atau pekerja di perkebunan dengan gaji yang menggiurkan. Orang tua korban juga dijanjikan anaknya akan memperoleh kehidupan yang lebih baik, anak akan disekolahkan, bahkan orang tua dijanjikan bisa menjenguk anaknya kapan saja. Selanjutnya, tiba di daerah tujuan, korban dipaksa jadi pelacur, menyebabkan mereka bisa terkena penyakit menular seksual bahkan HIV/AIDS. Mereka juga mengalami penyiksaan fisik apabila tidak menuruti perintah mami/germo dan tidak diizinkan keluar dari tempat prostitusi. Korban akan terus dipaksa bekerja dengan dalih untuk membayar hutang, mereka tidak diberi waktu istirahat yang cukup dan makanan yang memadai, sehingga menyebabkan korban mengalami trauma/tekanan mental, cacat fisik bahkan kematian, katanya. Untuk itu, PSG akan mensosialisasikan konsep intervensi komunitas lembaga pemerintahan gampong (kampung), masyarakat adat dan pendidikan untuk mencegah, melindungi dan merespon masalah trifficking yang terjadi pada anak-anak.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007