"Seorang pemimpin harus punya integritas dan terpercaya. Kalau seorang pemimpin nanti terpilih berstatus terpidana, nanti tentu bermasalah dan menjadi masalah tersendiri," katanya di Jakarta, Selasa.
Dia menjelaskan, kalau terjadi reaksi dari publik maka akan berdampak pada stabilitas di daerah karena seorang pemimpin membutuhkan dukungan rakyat.
Menurut dia, apabila kasus hukum seorang kepala daerah selalu diungkit, tentu jalannya pemerintahan tidak akan efektif ketika ada keraguan di masyarakat.
"Fraksi Hanura sekali lagi menolak kalau terpidana bisa ikut pilkada. Terlepas jika adanya ayat 14c yang kemudian di situ dijelaskan bahwa hakim menentukan syarat-syarat khusus bagi terpidanna khusus tidak boleh kemudian mengganggu hak atau membatasi kebebasan berpolitik dan kebebasan beragama," ujarnya.
Dia mengingatkan bahwa dalam konteks pilkada, butuh seorang pimpinan yang kuat dan tidak menimbulkan kontroversi yang berdampak pada tidak efektifnnya pemerintahan itu.
Dadang mengatakan, KPU dalam Rapat Kerja dengan Komisi II DPR menolak apa yang disampaikan Komisi II dan pemerintah melalui Kemendagri secara tegas mendukung KPU.
"Ini kemudian dilakukan sebuah diskusi ulang di Komisi II, karena beberapa fraksi menolak. PAN menolak termasuk Hanura," katanya.
Dia menjelaskan, Kapoksi Hanura di Komisi II memberikan pandangan yang sedikit mendukung, sama dengan Golkar namun hari ini fraksinya menyatakan mencabut dukungan itu.
Dadang menegaskan, itu artinya F-Hanura secara tegas menolak sehingha tinggal satu fraksi yang menyetujui dipaksakan untuk memberikan kebebasan terhadap terpidana untuk mencalonkan.
"Hanya satu fraksi. Dan kalau itu dipaksakan menjadi tidak legitimate sebagai sebuah keputusan," tegasnya.
Menurut dia, pemerintah harus konsisten dengan peraturan perundang-undangan sesuai yang diinginkan KPU. Dia menjelaskan, KPU sudah menjelaskan di rapat Komisi II, kalau terpidana tetap bisa mencalonkan ini akan mencederai kualitas demokrasi.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2016