Perubahan sikap itu ditanggapi sinis oleh sebuah lembaga hak asasi manusia yang menyebutnya sebagai "basa-basi" menjelang penilaian dari PBB.
Jumlah penghukuman terhadap oposisi dan penghinaan keluarga kerajaan naik secara tajam sejak kelompok militer menguasai Thailand pada 2014 lalu. Junta hingga kini selalu mengadili kasus-kasus tersebut di pengadilan militer.
Tidak lama setelah menguasai pemerintahan, militer Thailand menyatakan bahwa semua bentuk "penghinaan ataupun ancaman terhadap raja, ratu, dan semua keluarganya" adalah persoalan keamanan nasional.
Mereka yang terbukti bersalah harus menjalani hukuman maksimal 15 tahun penjara.
Sejumlah mahasiswa dan aktivis demokrasi juga harus menjalani pengadilan militer karena menolak kekuasaan junta.
Menurut surat perintah yang ditandatangani oleh kepala junta Prayuth Chan-ocha, kasus-kasus terkait keamanan nasional di masa mendatang akan ditangani oleh pengadilan sipil mengingat "membaiknya situasi dan kerja sama dari masyarakat selama dua tahun terakhir."
"Semua kasus terkait keamanan, dimulai dari 12 September, akan ditangani oleh pengadilan sipil kecuali kasus yang saat ini masih berjalan," kata Wakil Perdana Menteri Wissanu Kreag-ngam kepada para wartawan pada Selasa.
Pengadilan militer telah menangani sekitar 1.500 kasus sejak junta berkuasa pada Mei 2014. Sekitar 1.000 di antara kasus-kasus tersebut telah selesai ditangani, sementara 500 lainnya masih berjalan, kata Wissanu.
Amerika Serikat dan Uni Eropa telah menurunkan status hubungan diplomatik mereka dengan Thailand menyusul kudeta pada 2014. Sejak saat itu, mereka selalu menyuarakan keprihatinan terhadap situasi hak asasi manusia di Thailand.
Kritik juga muncul dari sejumlah kelompok hak asasi manusia. Mereka mengatakan bahwa kebijakan terbaru junta tidak akan mengubah situasi karena pengadilan sipil terkenal suka menjatuhkan hukuman berat bagi pelanggaran aturan penghinaan keluarga kerajaan.
"Keputusan ini hanyalah upaya untuk memperbaiki wajah Thailand menjelang penilaian rutin dari Dewan HAM PBB pada akhir bulan ini," kata Sunai Phasuk, peneliti dari lembaga Human Rights Watch.
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016