Tikar Pedamaran begitu terkenal di Sumatera Selatan (Sumsel). Anyaman yang terbuat dari purun ini telah melanglang buanahingga daerah-daerah di Pulau Jawa.
Tikar purun yang biasa digunakan untuk alas tidur, alas makan, tempat tidur ini telah menjadi sumber nafkah bagi masyarakat di delapan desa, yakni Desa Pedamaran I, Pedamaran II, Pedamaran III, Pedamaran IV, Pedamaran V, Pedamaran VI, Menang Raya, dan Lebuh Rarak, di Kecamatan Pedamaran sejak puluhan tahun lalu.
Seluruh warga desa, laki-laki dan perempuan, anak-anak hingga orang tua, semua bisa menganyam. Dan menggantungkan kehidupan keluarganya dari kerajinan tersebut.
Nurmaini (46) salah satunya. Ibu rumah tangga dari Desa Menang Raya ini mengaku sudah sejak umur 10 tahun menganyam purun.
Ibu dari lima orang anak ini hampir setiap hari berkumpul di rumah tetangganya untuk menganyam purun bersama dengan ibu-ibu lainnya.
Dalam dua hari dirinya mampu menghasilkan satu tikar purun berukuran 1x2 meter yang dijual dengan harga Rp20.000 hingga Rp60.000 per lembar.
Nurmaini mengaku menerima upah Rp5000 per hari dari menganyam tanaman liar yang tumbuh di lahan gambut ini, sehingga dari satu tikar purun yang dibuatnya dalam waktu dua hari dirinya bisa mengantongi uang Rp10.000.
Pendapatan lain keluarganya, menurut dia, datang dari sang suami, yang bekerja mengumpulkan barang-barang bekas di Jambi. Jika rejeki cepat menghampiri, maka dalam tiga atau empat hari suaminya telah mengirimkan uang Rp200.000 atau Rp300.000.
Namun jika rejeki sedang seret, jangankan seminggu, terkadang uang Rp200.000 atau Rp300.000 ribu baru diterimanya dalam waktu sebulan dari sang suami.
Sayangnya keluarga Nurmaini tidak memiliki lahan, sehingga tidak bisa mengandalkan beras atau sayur dari ladang sendiri. Bagi mereka, tikar purun menjadi penyambung hidup.
Kepala Direktorat Kaderisasi dan Organisasi Serikat Hijau Indonesia (SHI) Rian Syaputra usai mengunjungi ibu-ibu pengerajin tikar purun di Desa Menang Raya bersama Kemitraan dan Yayasan Perspektif Baru (YPB) mengatakan 90 persen masyarakat di desa tersebut bisa mengayam purun.
Purun telah menjadi bagian dari kearifan lokal masyarakat desa di sana untuk memanfaatkan alam dengan cara yang benar dalam kesehariannya. Masyarakat, menurut Rian, sadar bahwa purun yang merupakan tumbuhan alami tetap akan ada hanya jika lahan gambut tidak kehilangan airnya.
Terkepung korporasi
Penggiat lingkungan yang juga merupakan warga Desa Pedamaran VI Syarifudin Busar mengatakan Kecamatan Pedamaran terbagi menjadi 14 desa dengan luas wilayah mencapai sekitar 150.000 hektare (ha), dan 120.000 ha diantaranya merupakan lahan gambut yang merupakan kawasan Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG).
Dari 120.000 ha lahan gambut tadi, menurut dia, 80.000 ha sudah dikuasai perusahaan, dan sebagian besar wilayahnya ikut terbakar pada 2015. Lahan gambut yang sempat didatangi Presiden Joko Widodo ini menjadi langganan kebakaran dalam beberapa tahun terakhir.
Saat ini paling tidak ada 10 perusahaan kelapa sawit yang memegang Izin Usaha Perkebunan (IUP) di Kecamatan Pedamaran dan Kecamatan Pedamaran Timur.
Dan kini, ia mengatakan kondisi lahan gambut yang telah beralih fungsi menjadi perkebunan sawit tersebut menjadi sangat memprihatinkan. Tanaman monokultur ini membuat tanah menjadi kering, sedangkan pupuk yang digunakan mengalir ke sungai-sungai sekitar, mengancam keberadaan ikan-ikan rawa gambut yang sebelumnya berlimpah dan menjadi mata pencarian masyarakat di kecamatan tersebut.
Dulu, menurut Syarifudin, semua lahan gambut dangkal yang basah di desa ini ditumbuhi purun. Kini, hanya tinggal sekitar 1000 ha lahan gambut yang ditumbuhi purun, sehingga masyarakat desa yang menjadi pengerajin tikar semakin sulit memperoleh bahan baku dan harus membelinya ke desa lain di Kabupaten OKI.
Rusdi (65), kakek dari Desa Padamaran VI saat ditemui Antara sedang mengambil purun di rawa gambut Arang Setambun di Desa Cinta Jaya mengatakan sudah empat hari berada di sana untuk mengambil tanaman rawa ini bersama istrinya. Mereka tidur di dalam tenda sederhana dari terpal dengan membawa perbekalan secukupnya dari desa.
Dalam empat hari, ia mengatakan sudah mengumpulkan 100 kebat, yang satu kebatnya dihargai Rp7000. Purun-purun tersebut diikat berjajar sedemikian rupa dan ditarik dengan perahu kayu kecil selama empat jam melewati kanal gambul terdekat hingga ke desanya.
Antara bersama sejumlah wartawan harus menghabiskan waktu sekitar dua jam berkendara dari Desa Menang Raya untuk mencapai lokasi rawa gambut tersebut. Sebagian jalan belum teraspal, pada bagian kanan dan kirinya penuh dengan tanaman kelapan sawit yang di antaranya ditanami dengan nanas.
Boleh dikatakan purun dari Arang Setambun ini kini menjadi yang terdekat yang bisa diambil dari lahan gambut yang tersisa sebagai bahan baku tikar. Dan tahun lalu, menurut Rusdi, gambut di lokasi tersebut juga ikut terbakar hebat.
"Syukur lah sekarang airnya sudah kembali, jadi purunnya sudah banyak tumbuh lagi," ujar dia.
Sama dengan warga desa di Kecamatan Pedamaran lainnya, kini Rusdi sangat berhati-hati saat berada di lahan gambut. "Api tuh kita jaga benar-benar. Masalahnya 2014 sama 2015 kita tidak bisa ambil purun karena terbakar".
Kepala Desa Menang Raya Suparedi mengatakan ada 100 warganya yang harus dilarikan ke Puskesmas dan rumah sakit karena terkena infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 2015. Karena itu, kini warga menjadi lebih waspada, tiga pos jaga karhutla didirikan di desa dan kondisi gambut dipantau 24 jam.
"(Keberlanjutan) lahan gambut sekarang menjadi domain kebijakan nasional. Kami ikut mendukung, kami siapkan tiga posko dan siaga 24 jam mengantisipasi kebakaran lahan gambut," ujar dia.
Masyarakat desa pun bersama dengan para penggiat lingkungan dari SHI mulai menanami lahan gambut bekas terbakar 2015. Sebanyak 1000 jelutung telah ditanam di sana dan akan terus dilakukan di lahan gambut yang terbakar lainnya.
Sesuai dengan fokus Badan Restorasi Gambut (BRG) yang mengedepankan pembasahan kembali (rewetting) dan penanaman kembali (replanting) di lahan gambut yang terbakar, ia berharap delapan tahun ke depan rawa gambut di sana dapat terselamatkan dan juga dapat menjadi sumber pendapatan baru bagi masyarakat, dengan mengambil karet dan batangnya yang biasanya dimanfaatkan untuk permen karet dan pensil.
Oleh Virna Puspa Setyorini
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016