Jakarta (ANTARA News) - Aku gembira, dengan sesekali berteriak, menyaksikan askar (polisi) dan warga Turki "adu mulut" di tepi jalan menuju jamarat lantai dua.
Kupikir, ini tontonan langka dan bisa jadi kedua orang itu bakal adu jotos.
"Seru!" kataku dalam hati.
Lama kusaksikan askar dan warga Turki berusia lanjut itu beradu argumentasi. Entah apa yang diributkan, karena aku tak paham Bahasa Arab. Tapi, dari bahasa tubuh dan cara menyampaikan kata-kata dari kedua orang tersebut, jelas mereka itu tengah bertengkar.
Suaranya pun makin keras disertai tangan saling menunjuk. Wajah keduanya terlihat brongosan, seperti orang siap adu tinju.
Dari kejauhan, kuteriaki mereka: "Hajar bleh. Hajar bro terus".
Akan tetapi, kedua orang itu tak menunjukan adegan saling tinju. Dugaanku meleset. Si warga Turki yang tengah menunaikan ibadah jumrah, dengan terbungkuk-bungkuk, lantas sambil mengucapkan salam; "Salamualaikum." Ia meninggalkan seterunya sang Askar di tepi jalan.
Sekejap, tidak dalam hitungan detik lagi, tiba-tiba terasa muncul perasaan marah. Penyebabnya pun tak diketahui. Pokoknya, muncul kemarahan yang semakin keras di dalam dadaku.
Air kemasan pun tanpa sadar kubanting keras. Kemarahan yang datang tanpa diundang tersebut sulit dikendalikan otak. Namun masih ada kesadaran dalam hati: "apa ini penyebabnya."
Jalan pun tak tentu arah. Dari lurus, mundur lagi ke jalan semula. Terus dalam suasana marah seorang diri.
Beruntung, ada rekanku, Hasrul dari Padang, yang menyaksikan tingkah anehku dan mengingatkan bahwa di situ adalah Tanah Haram, Mekkah dan saat bersamaan seluruh Jemaah haji dari seluruh dunia tengah menunaikan ibadah lempar jumrah.
Aku mengucapkan istigfar. Sambil jongkok dan meminta ampunan berkali-kali, dalam waktu cukup lama, akhirnya diri ini tersadarkan sendiri. Aku kembali pada jatidiri awal, sebagai insan yang tengah menjadi tamu Allah di Tanah Suci.
Kepada Hasrul, yang saat itu tengah menjadi anggota Media Center Haji (2007), kuceritakan bahwa peristiwa itu adalah bagian dari kecongkakan diri ini tatkala menyaksikan dua orang bertengkar, namun di sisi lain justru aku mengumbar rasa ria berlebihan sambil berteriak: "Hajar bro sikat dst".
Fakta ini memberi gambaran bahwa kebesaran Allah dapat ditunjukan dimana dan kapan pun. Terlebih, di Tanah Suci. Allah dalam sekejap dapat mengubah hati seseorang. Dari keadaan tenang, bisa menjadi pemarah.
Saat dua insan bertengkar, bukan diri ini mendamaikan. Tetapi, malah diri ini seolah sebagai seorang penonton tinju yang tengah adu jotos. Memberi semangat untuk terus melanjutkan pertarungan.
Atau diri ini, kala itu, seperti tengah menyaksikan dua tim sepakbola terlibat dalam keributan adu tinju karena adanya wasit tak adil memimpin pertandingan seperti kebanyakan terjadi di Tanah Air.
Stamina Turun
Pascawukuf di Arafah, kondisi fisik anggota Jemaah haji dari seluruh dunia secara bertahap makin menurun. Badan makin tidak bugar lagi. Yang jelas, stamina makin menurun.
Di saat bersamaan itu, rindu kampung halaman pun makin dekat di ujung mata. Kenyataan ini dialami setiap tahun dan terjadi pada seluruh anggota Jemaah dan petugas haji.
Bersamaan dengan itu, jumlah anggota Jemaah haji pun makin meningkat angka kematiannya. Itu bisa dimengerti lantaran anggota Jemaah haji Indonesia rata-rata 60 persen ke atas adalah berusia lanjut dan beresiko tinggi. Artinya, kebanyakan memiliki penyakit bawaan sejak dari Tanah Air.
Sudah jelas, menghadapi kondisi itu, dibutuhkan semangat kebersamaan dari seluruh petugas Penyelenggara Ibadah Haji Indonesia (PPIH) dan tim dari Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) yang banyak menangani haji khusus.
Pelajaran yang dapat ditarik dari kejadian yang dialami secara pribadi, tidak ada pilihan lain bagi seluruh petugas untuk menguatkan solidaritas di lapangan dalam memberi pelayanan kepada seluruh anggota Jemaah haji. Dan lebih penting lagi mengedepankan istiqomah, yaitu berkomitmen terhadap kalimat syahadat dan tauhid sampai bertemu dengan Allah Azza wa Jalla.
Labbaik Allahumma Labbaik, labbaika la syarika laka labbaik inna al hamda wa an ni mata laka wa al mulk la syarika laka - Aku memenuhi panggilan-Mu ya Allah, aku memenuhi panggilan-Mu. Aku memenuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu aku memenuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya pujian dan ni mat adalah milik-Mu begitu juga kerajaan tiada sekutu bagi-Mu.
Haji Mabrur
Semoga mereka mendapatkan haji mabrur, yaitu haji yang tidak dicampuri unsur riya. Sekembali di Tanah Air tidak lagi bermaksiat dan banyak membawa perubahan menuju yang lebih baik.
Namun jika dilihat realitasnya, tidak satu orang pun dapat mengetahui hakikat seseorang yang menjalani ibadah haji, apakah memperoleh mabrur atau tidak.
Sebab, hakikat itu hanya Allah yang mengetahui, sedangkan manusia hanya berdoa dan berusaha secara optimal. Tanda-tanda kemabruran adalah melalui keadaan orang itu dalam hubungan "hablun minallah dan hablun minannas".
Pendekatan diri (taqorrub) kepada Allah akan melahirkan perbaikan kondisi dan gerak batin seseorang yang berpotensi membentuk karakter lebih baik. Dengan demikian akan memudahkan seorang muslim untuk membangun kesalehan pribadinya menuju kesalehan sosial.
Kemabruran adalah rekontruksi manusia lahir batin yang dampaknya akan positif dalam pergaulan di dunia, sekaligus khusnul khotimah menuju akhirat.
Terkait pelayanan yang diberikan petugas sejatinya diarahkan untuk meningkatkan kualitas anggota Jemaah haji, agar mereka meraih haji mabrur. Namun harus disadari bahwa bagi seseorang tak bisa menggunakan parameter wujud fisik, misalnya sekembalinya dari tanah suci lantas orang bersangkutan rajin pergi ke masjid, kerap berzikir atau rajin mendoakan seseorang yang tengah tertimpa musibah.
Juga tak bisa menggunakan pendekatan pandangan keseharian, karena bisa saja diam-diam orang yang baru kembali di Tanah Air kembali giat melakukan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme).
Para ulama menyebutkan bahwa haji mabrur itu memiliki indikator, antara lain patuh melaksanakan perintah Allah SWT, melaksanakan sholat, konsekuen membayar zakat.
Juga sungguh-sungguh membangun keluarga sakinah mawaddah dan wa rahmah, selalu rukun dengan sesama umat manusia, sayang kepada sesama makhluk Allah SWT.
Selain itu juga konsekuen meninggalkan larangan Allah SWT, terutama dosa-dosa besar, seperti syirik, riba, judi, zina, khamr, korupsi, membunuh orang, bunuh diri, bertengkar, menyakiti orang lain, khurafat, serta bidah.
Gemar melakukan ibadah wajib, sunat dan amal shalih lainnya serta berusaha meninggalkan perbuatan yang makruh dan tidak bermanfaat.
Aktif berkiprah dalam memperjuangkan, mendakwahkan Islam dan istiqamah serta sungguh-sungguh dalam melaksanakan amar maruf dengan cara yang maruf, melaksanakan nahi munkar tidak dengan cara munkar.
Memiliki sifat dan sikap terpuji seperti sabar, syukur, tawakkal, tasamuh, pemaaf, dan tawadlu. Malu kepada Allah SWT utk melakukan perbuatan yang dilarang-Nya. Semangat dan sungguh-sungguh dalam menambah dan mengembangkan ilmu pengetahuan terutama ilmu-ilmu Islam.
Haji mabrur juga bila bekerja keras dan tekun untuk memenuhi keperluan hidup dirinya, keluarganya dan dalam rangka membantu orang lain serta berusaha untuk tidak membebani dan menyulitkan orang lain. Cepat melakukan tobat apabila terlanjur melakukan kesalahan dan dosa, tidak membiasakan diri proaktif dengan perbuatan dosa, tidak mempertontonkan dosa dan tidak betah dalam setiap aktivitas berdosa.
Dan yang lebih penting lagi, sungguh-sungguh memanfaatkan segala potensi yang ada pada dirinya untuk menolong orang lain dan menegakkan "Izzul Islam wal Muslimin".
Oleh Edy Supriatna Sjafei
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016