Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hingga pekan kedua September 2016 belum membahas rancangan aturan penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 secara bersama-sama.
Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang rencananya diserahkan kepada para legislator di bulan September ini oleh pemerintah, akan merinci aturan pelaksanaan pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD pada 2019 secara serentak.
Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum (Dirjen Polpum) Kementerian Dalam Negeri Soedarmo mengatakan draf revisi RUU Pemilu masih akan sekali lagi dikaji dalam rapat koordinasi di Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam), sebelum kemudian diputuskan pada rapat terbatas yang dihadiri para menteri dan Presiden Joko Widodo.
Sebelum semua rangkaian rapat tingkat penyelenggara negara tersebut dimulai, pemerintah melalui Kemendagri telah terlebih dahulu merevisi tiga undang-undang, yakni UU Nomor 8 Tahun 2012, UU Nomor 42 Tahun 2008, dan UU Nomor 15 Tahun 2011, untuk menemukan "formula" yang tepat dalam mencapai demokrasi Indonesia pada pelaksanaan paket pemilu mendatang.
Selain itu, Kemendagri juga melakukan uji publik di sejumlah daerah untuk meminta pendapat dari berbagai kalangan, termasuk masyarakat, mengenai penyelenggaraan pemilu 2019.
Dalam uji publik itu, masukan untuk menjalankan pemilu dengan menggunakan pemungutan suara elektronik atau e-voting kemudian muncul kembali, setelah sebelumnya pernah diwacanakan untuk diterapkan pada Pemilihan Presiden 2014.
Menanggapi keinginan sebagian masyarakat tersebut, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan pemerintah memang menghendaki adanya pelaksanaan Pemilu 2019 dengan berbasis e-voting.
Menurut dia, saat ini inovasi pemilu melalui pemungutan suara elektronik itu masih belum diputuskan, namun usulan tersebut sedang dibahas dan diupayakan masuk oleh pemerintah dalam draf RUU Pemilu.
Bahkan, salah satu alasan Kemendagri memacu masyarakat untuk merekam data kartu tanda penduduk elektronik atau E-KTP hingga 30 September 2016, adalah untuk persiapan penerapan e-voting dalam Pemilu 2019, ujar Tjahjo.
Persiapan
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay memandang wacana pemerintah untuk menghadirkan penerapan e-voting dalam draf RUU Pemilu 2019, sebagai langkah yang terburu-buru.
Pasalnya, mantan Direktur Eksekutif CETRO (Centre for Electoral Reform) itu menilai proses perpindahan dari pemilu manual menuju pemilu secara elektronik butuh persiapan pada berbagai sektor, di antaranya teknologi yang sesuai dengan sistem pemilu yang ingin dilaksanakan, mesin dengan jumlah yang banyak agar dapat mengakomodasi setiap suara di seluruh Tanah Air, serta tempat penyimpanan mesin-mesin itu ketika kelak tidak digunakan.
Selain itu, ia menambahkan, pengalokasian anggaran negara juga akan dibebani dengan keperluan atas hadirnya tenaga ahli yang akan mengoperasikan, merawat, maupun memperbaiki sistem teknologi tersebut, jika kemudian bermasalah.
Pria kelahiran 10 Januari 1960 ini juga menganggap kelak, tahap sosialisasi pelaksanaan e-voting kepada publik membutuhkan waktu yang tidak sedikit, dan empat tahun yang tersisa hingga Pemilu 2019 digelar, dirasa kurang untuk mengenalkan masyarakat pada inovasi itu.
Menurut dia, pengenalan e-voting yang dilakukan secara seksama kepada publik tidak dapat "disepelekan", karena upaya tersebut dapat berakibat pada hilangnya kepercayaan masyarakat terkait proses yang jujur dan keakuratan hasil pemilu yang kelak diselenggarakan.
Pendapat ini dia sandingkan dengan pengalaman salah satu negara dekat Indonesia yang terlebih dahulu mengaplikasikan teknologi dalam rangkaian pemilunya, yakni Filipina.
Hadar mengungkapkan masuknya sistem penghitungan elektronik atau (e-counting) di negara pimpinan Presiden Rodrigo Duterte itu dipersiapkan sejak sekitar 20 tahun sebelumnya.
Sedangkan Brasil, yang merupakan salah satu negara pelaksana e-voting berhasil menjalankan pemungutan suara secara elektronik setelah melakukan persiapan selama 10 tahun, jelasnya.
Namun, Hadar menekankan bahwa terdapat perbedaan kondisi geografis, luas negara, dan jumlah penduduk antara Brasil dan Indonesia, yang juga harus menjadi catatan penting dalam menerapkan pemilu berbasis elektronik.
Sengketa
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Nelson Simanjuntak mengatakan pemungutan suara secara elektronik tentu akan mengurangi jumlah sumber daya manusia yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan "pesta demokrasi" itu.
Tenaga-tenaga manusia tersebut bakal digantikan oleh mesin yang juga membuat proses pemilu menjadi lebih efisien dibandingkan jika dilaksanakan manual.
Namun, mantan Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ini juga menyatakan kecurangan pemilu akan semakin mudah dilakukan saat sistem teknologi diaplikasikan.
Ketika pemilu sudah berbasis pada teknologi, masyarakat tidak dapat lagi melihat proses penghitungan suara secara langsung di tempat pemungutan suara (TPS) seperti yang selama ini dilaksanakan pada pemilu-pemilu sebelumnya.
Padahal, tahap tersebut merupakan langkah penerapan transparansi oleh penyelenggara pemilu, agar hasil pemilu dapat dipertanggungjawabkan dan tidak menjadi sengketa di kemudian hari, terangnya.
Terkait dengan risiko sengketa itu, Nelson mengatakan penanganan masalah-masalah kecurangan pada penerapan e-voting menjadi lebih sulit dibandingkan dengan kisruh pemilu manual.
Kesulitan ini disebabkan potensi terjadinya kesalahan maupun sistem "error" pada pemungutan maupun penghitungan suara elektronik dapat berlangsung kapan saja, sehingga subjek yang kemudian patut bertanggungjawab atas persoalan itu susah dibuktikan, jelasnya.
Menurut dia, pemerintah perlu terlebih dahulu mengkaji jalan keluar masalah tersebut sebelum menerapkan e-voting, sehingga sengketa yang kelak terjadi dapat diselesaikan sesuai dengan payung hukum yang berlaku.
Kajian mendasar tersebut, kata Nelson, perlu dijalankan agar implementasi asas pemilu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil tetap tidak "ternoda".
Oleh Agita Tarigan
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016