"Saya sangat prihatin ketika diketahui jumlah dosen kita sekitar 230 ribu ternyata masih lulusan S1, S2 baru sekitar 120 ribu berarti belum mencapai 50 persen padahal dalam UU dan peraturan pemerintah menyatakan bahwa perguruan tinggi minimal di tahun 2017 dosennya itu harus S2," kata Marlinda dalam rilis yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Politisi Partai Golkar itu juga mempertanyakan target yang dibuat oleh Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi terkait dengan peraturan yang terkait dengan syarat S2 itu.
Dia juga menyorot persoalan sertifikasi dosen yang dinilai baru mencapai sekitar 100 ribu, padahal sertifikasi penting guna meningkatkan daya saing dalam era MEA sekarang ini.
"Dosen tidak bisa disebut dosen kalau tidak memiliki sertifikasi, dan ini tangung jawab pemerintah mereka harus punya target 2017, sekitar 230 ribu dosen harus sudah sertifikasi," katanya.
Untuk itu, ia menegaskan pembuatan program yang tepat serta beragam indikator pengukuran yang digunakan untuk mencapai target itu.
Sebagaimana diwartakan, Dirjen Sumber Daya Iptek Dikti, Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Prof Dr Ali Gufron Mukti mengemukakan rencana pemotongan tunjangan terhadap guru besar tidak dimaksudkan sebagai ancaman atau menakut-nakuti para guru besar, tapi lebih mendorong mereka agar dapat bekerja lebih optimal.
"Memang wacana pengurangan tunjangan dan tidak menaikkan pangkat terhadap guru besar yang tidak produktiif dalam kurun waktu tertentu itu sudah dibicarakan di bawah Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti), bulan silam, tetapi tujuannya memberikan motivasi agar mereka usai mendapatkan kompensasi besar melakukan tugasnya lebih giat lagi," kata Dr Ali Gufron Mukti kepada Antara di Jakarta, Jumat (9/9).
Ali dimintai tanggapannya terkait rencana pemotongan tunjangan dan penundaan pangkat para guru besar di lingkungan perguruan tinggi yang akan dilaksanakan tahun 2017 jika para guru besar tersebut tidak melakukan penelitian dan kajian ilmiah yang terpublikasi.
Sebelumnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) diminta untuk mengevaluasi proses penganggaran di kementerian itu menyusul terjadinya pemotongan anggaran untuk Tunjangan Profesi Guru (TPG) sebesar Rp23,4 triliun.
"Proses penganggaran di Kemdikbud harus dievaluasi karena selama ini penganggarannya hanya menjiplak dari tahun sebelumnya," ujar Pemerhati Pendidikan, Indra Charismadji, di Jakarta, Kamis (1/9).
Menurut Indra Charismadji, proses penganggaran harus serius dan Kemdikbud harus mampu membuat program yang benar-benar efektif untuk memajukan pendidikan Indonesia.
Pewarta: Muhammad Razi Rahman
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016