Surabaya (ANTARA News) - Mahasiswi Fakultas Teknik Elektro Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS), Erlina Wati Halim, menciptakan sebuah alat penyaring asap pembersih udara yang dibuat dari bahan-bahan bekas.
"Saat Indonesia mulai sering mengalami bencana asap, maka timbul ide untuk mengatasi masalah tersebut. Saya memanfaatkan barang-barang daur ulang seperti kaleng bekas cat," katanya di Laboratorium Kampus UKWM Surabaya, Jumat.
Filter atau penyaring asap karyanya tersebut terdiri dari sebuah kotak yang menyerupai lemari kayu, dengan dua kipas angin (bekas exhaust fan rusak) yang salah satunya berfungsi untuk menyedot asap masuk ke dalam alat.
Alat yang lain berfungsi untuk menghembuskan udara yang telah difiltrasi keluar dari alat, serta karbon aktif sebagai media filtrasinya.
Selain itu, alat tersebut juga dilengkapi dengan sensor mq7 yang berfungsi untuk mendeteksi gas karbon monoksida (CO) dengan batasan konsentrasi yang bisa diatur untuk menyaring asap.
Erlina menjelaskan cara kerja alat tersebut cukup sederhana. Pertama, alat yang memiliki panjang 60 cm, lebar 40 cm dan tinggi 1,2 meter ini disambungkan dengan aliran listrik.
Pada saat uji coba, perempuan kelahiran 21 November 1994 tersebut menggunakan batas aman maksimal 50 PPM untuk kadar CO.
"Angka tersebut saya adaptasi dari batas aman yang digunakan ISPU (Index Standart Pencemaran Udara)," ujarnya.
Pada saat mendeteksi adanya asap dengan kadar CO mulai 50 PPM ke atas, alat akan secara otomatis melakukan penyaringan terhadap asap tersebut.
"Alat tersebut kemudian akan menyaring asap kotor masuk ke dalam melalui kipas angin, kemudian dilewatkan pada media filtrasi," tuturnya.
Dalam proses filtrasi, karbon aktif yang berbentuk menyerupai kerikil arang tersebut berperan sangat penting dalam filtrasi asap.
Setelah proses filtrasi, alat tersebut akan menghembuskan udara yang lebih bersih. Waktu yang dibutuhkan untuk proses filtrasi menyesuaikan kadar CO yang terdeteksi.
"Misalnya pada kadar 115 PPM, maka alat akan terus bekerja sekitar selama 34 menit non stop. Sedangkan kadar 50 PPM hanya butuh proses filtrasi selama sekitar 12 menit," katanya.
Alat akan secara otomatis berhenti bekerja (kembali dalam posisi standby) saat mencapai batas 30 ppm yang menandakan bahwa udara sudah berada dalam keadaan benar-benar aman untuk dapat dihirup manusia.
Sementara itu, dosen pembimbing Andrew Joewono ST MT mengatakan karya mahasiswinya ini memiliki kelebihan tidak ada efek samping karena menggunakan komponen karbon aktif di dalamnya.
"Selain itu, meskipun tidak dijalankan tanpa sensor, alat tersebut tetap bisa menjalankan fungsinya sebagai penyaring asap," katanya didampingi dosen pembimbing lainnya, Lanny Agustine ST MT.
Meski begitu, alat yang sudah dibuat Erlina selama kurang lebih tiga bulan tersebut masih perlu beberapa pembenahan, di antaranya adalah soal karbon aktif.
"Saat ujian tugas akhir, filtrasi yang dihasilkan oleh alat saya kurang sempurna karena karbon aktifnya sudah dalam kondisi kurang baik, namun saya berharap alat tersebut nantinya bisa membantu dalam penyelesaian beberapa bencana alam yang ada di Indonesia," katanya.
Pewarta: Indra Setiawan/WI
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016