London (ANTARA News) - Sembilan seniman, arsitek, dan desainer Indonesia didukung Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) tampil dalam ajang London Design Biennale 2016 yang diadakan di Somerset House, London, Inggris pada 7-27 September ini.
Kesembilan seniman dan arsitek itu terdiri dari Irwan Ahmett, Bagus Pandega, Yola Yulifanti, arsitek Adi Purnomo dan Suyeni serta desainer Agra Satria, Fandy Susanto, Max Suriaganda dan Savira Lavinia yang bertugas menjawab tantangan utopia dunia melalui desain Indonesia.
"Kami bangga Indonesia untuk pertama kalinya bisa ikut dalam London Design Biennale (LDB)," ujar Bagus Pandega kepada Antara London, Kamis (8/9).
Menurut Bagus, dalam memilih tema London Design Biennale, seniman Indonesia menuangkannya melalui konsep satelit dan uthopia yang terinspirasi kisah nyata, namun dibuat dengan desain fiksi.
"Asia Afrika merupakan bentuk dari uthopia yang sangat dahsyat," ujarnya.
Tema "Utopia by Design" pada LDB 2016 diadaptasi dalam situasi kondisi sosial, politik dan ekonomi Indonesia oleh tim kurator yang disusun Bekraf, sehingga melahirkan sebuah tema ala Indonesia, yakni "Freedome".
"Freedome" adalah interpretasi terhadap kenangan bangsa Indonesia atas momentum terbaik pada masa awal kemerdekaan, yaitu Konferesi Asia Afrika tahun 1955 yang melahirkan Dasasila Bandung.
Dasasila Bandung mengandung pernyataan dukungan akan kedamaian dan kerja sama dunia yang akhirnya menjadi sumber inspirasi bagi negara-negara di kawasan Asia dan Afrika saat itu. Dalam tatanan dunia ideal, gagasan utopia mengingatkan masyarakat akan hal-hal yang ideal, yang mendorong masyarakat untuk melihat masa depan dengan berbagai alternatif, inisiatif dan spekulasi tentang hidup yang ideal.
Ajang LDB 2016 menghadirkan tema "Utopia by Design" yang baru pertama kali digelar berhasil mengundang 37 negara dari enam benua, termasuk Indonesia. Masing-masing negara mengeksplorasi gagasan tentang desain yang membalut isu-isu sosial politik semacam migrasi, polusi, air dan kesejahteraan sosial. "37 Countries,One Language : Design.
Tim kurator Indonesia terdiri dari Hermawan Tanzil, Diana Nazir, Hafiz Rancajale, serta Danny Wicaksono memilih seniman, arsitek dan desainer berhasil mewujudkan gagasan utopis tentang masyarakat ideal, yang terinspirasi dari Dasasila Bandung, secara kontemporer.
Kurator Hermawan Tanzil, kepada Antara mengatakan bahwa mereka hanya membutuhkan waktu dua bulan untuk menuangkan konsep yang ada ke dalam berbagai bentuk desain mulai dari satelit dengan teknologi grafitasi dan adanya sabut kelapa yang berbentuk bulat yang disusun seperti kubah.
Sementara itu Deputi IV Bidang Pemasaran Joshua Puji Mulia Simanjuntak kepada Antara London menyebutkan, Indonesia merupakan satu-satunya peserta dari Asia Tenggara.
Dikatakannya kehadiran Indonesia pada ajang LDB 2016 sangat penting untuk memajukan eksistensi dan kontribusi desainer Indonesia dalam menawarkan spekulasi, alternatif dan pemikiran kritis tentang cita-cita tatanan dunia ideal melalui desain.
Menurut Yoshua desain produk, arsitektur dan seni rupa adalah sebagian dari 16 subsektor ekonomi kreatif. Keikutsertaan Indonesia dengan dukungan penuh pemerintah, dalam hal ini Bekraf, melalui Deputi Pemasaran, merupakan implementasi nyata pemerintah terhadap keseriusan dalam mengembangkan ekonomi kreatif nasional.
Sebagai upaya dari program promosi dan publikasi produk ekonomi kreatif Indonesia di luar negeri, fasilitasi penuh terhadap para seniman, arsitek, dan desainer yang terpilih untuk mengikuti LDB 2016 diharapkan dapat meningkatkan citra dan potensi ranah seni di Indonesia, sekaligus meningkatkan kesadaran dan apresiasi masyarakat mengenai pentingnya berbagai karya seni kontemporer, termasuk nilai ekonomisnya.
Menurut Joshua, mereka menemukan cara menuju utopia melalui ekspresi desain yang lantas mengajak berperan membentuk kritik tentang dunia ideal, baik dari sudut pandang budaya, ekonomi maupun politik.
Singkatnya, Dasasila Bandung adalah tawaran Indonesia pada tema Utopia by Design dalam ajang London Design Biennale, demikian Joshua Puji Mulia Simanjuntak.
Pewarta: Zeynita Gibbons
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016