Pulau Rote, NTT (ANTARA News) - Masyarakat adat di Kabupaten Rote Ndao yang tergabung dalam Forum Komunikasi Tokoh Adat Peduli Budaya Rote, Rabu, mengukuhkan para penjaga laut (Haholok/Papadak) sebagai bentuk kearifan lokal dalam menjaga keamanan wilayah perairan setempat.
"Kearifan lokal semacam ini perlu diterapkan untuk menjaga wilayah perairan setempat dari ancaman pengrusakan yang dilakukan oleh oknum-oknum tidak bertanggungjawab," kata Ketua Forkom Tokoh Adat Peduli Budaya Rote, Jhon Ndolu, kepada wartawan di Desa Nggodimede, Kecamatan Rote Tengah, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur.
Ndolu menjelaskan Hoholok atau Papadak (Penjaga) merupakan sebuah istilah adat yang sebelumnya diterapkan oleh masyarakat Rote Ndao untuk menjaga segala hasil bumi yang ada di pulau terselatan Indonesia itu agar tidak dirusak atau dijamah oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Selain sebagai penjaga dan pengaturan keberlangsungan sumber daya alam, Papadak atau Hoholok juga berfungsi untuk mencegah terjadinya konflik antarpetani dan peternak, maupun antara petani dengan petani.
"Berdasarkan kekuatan-kekuatan yang ada pada masyarakat inilah maka kami berinisiatif mengangkat Hoholok atau Papadak ini sebagai perangkat untuk mengelolah kawasan pesisir dan Laut secara lestari menjadi salah satu pilihan," tuturnya.
Ia juga mengatakan keberadaan masyarakat adat sebagai bagian dalam pengelolan lingkungan sudah terakomodir dalam UU Nomor: 1 Tahun 2015 tentang perubahan atas UU No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil pada Pasal 21 ayat (1).
Forum Komuniksi tersebut tergabung dalam enam desa yang ada di Kabupaten Rote Ndao, yakni Desa Oelua dan Netenaen yang berada di Kecamatan Rote Barat Laut, Desa Nggodimeda dan Siomeda yang berada di kecamatan Rote Tengah serta desa Bolatena dan Sitimori yang berada di Kecamatan Landu Lenko.
Deklarasi penerapan kearifan lokal untuk menjaga laut tersebut di sertai dengan denda-denda yang telah ditetapkan oleh masyarakat adat pada kisaran antara Rp10 juta sampai Rp100 juta sesuai tingkat kerusakan lingkungan laut dan pesisir yang dilakukan.
Larangan untuk tidak melakukan kerusakan pada wilayah laut dan pesisir itu antara lain penebangan magrove, pengeboman ikan, penangkapan penyu yang dilindungi, serta penangkapan ikan dengan menggunakan pukat harimau.
Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati (KKHL) Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Andi Rusandi mengapresiasi apa yang dilakukan oleh masyarakat adat di Pulau Rote tersebut.
"Kita justru mendukung hal-hal seperti ini, karena bagaimana pun pemerintah membutuhkan masyarakat untuk menjaga dan mengelolah wilayah lautnya secara baik untuk meningkatkan kesejahteraannya," tuturnya.
Sebab, kata dia, jika hanya berharap dari pemerintah dan pihak keamanan laut untuk menjaga keamanan laut dari aksi pengrusakan, rasanya tidak mungkin terwujud karena Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas.
Ia bahkan mengatakan tidak akan mencampuri urusan adat masyarakat Rote, jika hal terkait adat untuk menjaga laut itu demi kebaikan semua masyarakat.
Pewarta: Kornelius Kaha
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016