ASEAN didirikan pada 1967 dan sejak itu jumlah anggota Perhimpunan Negara-Negara Asia Tenggara itu sekarang menjadi 10 negara.
Dalam beberapa kali KTT, para pemimpin ASEAN membahas berbagai isu internal dan eksternal mengenai ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan.
Satu di antara isu yang masih tetap hangat dibicarakan ialah keamanan di Laut China Selatan (LCS) karena menyangkut kepentingan banyak negara.
Berbagai forum yang menghadirkan sejumlah pakar dari dalam dan luar negeri diadakan di Jakarta baru-baru ini. Center for Southeast Asian Studies (CSEAS) misalnya menyelenggarakan lokakarya internasional untuk membahas usaha-usaha mencari solusi atas konflik di LCS dari perspektif ASEAN.
Selain itu The Habibie Center yang bekerja sama dengan USINDO Jakarta dan Kedutaan Besar Amerika Serikat mengadakan forum bertajuk "The Hagues South China Sea Ruling: Legal and Political Implications".
Isu LCS menjadi tantangan yang signifikan untuk solidaritas dan persatuan negara anggota ASEAN. KTT ASEAN kali ini di Vientien, Laos, menghadapi tantangan serius bagi persatuannya terutama setelah pengumuman keputusan Pengadilan Tetap Arbitrase (PCA).
Pada Juli 2016, PCA di Den Haag, Belanda, mengeluarkan keputusan menolak klaim China atas LCS, dengan menyatakan bahwa klaim itu melanggar hak-hak kedaulatan Filipina.
Tentu saja keputusan tersebut menimbulkan implikasi, baik legal maupun politik atas China, Filipina dan negara-negara anggota ASEAN dan juga negara-negara di luar organisasi itu.
China secara terbuka menolak keputusan tersebut, dan menantang jurisdiksi mahkamah itu mengenai kasus tersebut. Negara-negara sekutu China di ASEAN terutama Kamboja dan Laos mendukung sikap Beijing tersebut, mencegah ASEAN mengambil sikap bersama mengenai isu LCS.
Keputusan PCA itu mendapat tanggapan dari banyak negara. Perselisihan klaim tumpang-tindih yang telah berlangsung lama itu di LCS melibatkan empat negara anggota ASEAN yakni Filipina, Vietnam, Malaysia dan Brunei dan juga China dan Taiwan.
Meskipun Indonesia bukan merupakan pihak langsung dalam sengketa dengan China di LCS, namun China selalu mengatakan bahwa perairan sekitar pulau-pulau Natuna di Indonesia merupakan "lahan perikanan tradisional mereka."
Response Indonesia sebagai negara kunci di kawasan Asia Tenggara juga dapat mempengaruhi tanggapan di antara negara-negara anggota ASEAN lainnya. Negara-negara yang bukan pengklaim (non-claimant) termasuk Amerika Serikat juga menyatakan memiliki kepentingan atas kawasan itu.
Oleh karena itu, LCS telah menjadi masalah umum dari negara-negara ASEAN, bukan masalah sengketa masing-masing negara anggota ASEAN dengan China.
Pada KTT ASEAN, isu LCS harus ditanggapi dengan serius, dimasukkan ke dalam diskusi serta para pemimpin mengeluarkan pernyataan bersama terkait isu tersebut.
Tanpa ada resolusi mengenai klaim tumpang-tindih di kawasan itu yang kaya sumber daya alam dan posisinya yang strategis, energi ASEAN akan terkuras.
Bersatu hadapi tantangan
Persatuan dan sentralitas ASEAN sangat penting dalam menghadapi tantangan regional dan menciptakan potensi kerja sama, realisasi Komunitas ASEAN serta pelaksanaan tujuan visi ASEAN untuk tahun 2025. Peran sentral dan terpadu ASEAN juga telah menjadi faktor dasar untuk melanjutkan pengembangan dinamis perhimpunan pada saat ini.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pada pertemuan para menteri luar negeri ASEAN di Vientiane pada April lalu mengatakan bahwa hanya dengan persatuan ASEAN, organisasi dapat terus memberikan kontribusi bagi stabilitas, perdamaian dan keamanan di wilayah tersebut.
Selain menyinggung isu LCS, Menlu Retno juga menekankan persatuan untuk menghdadpi ancaman keamanan non tradisional di laut di kawasan itu seperti masalah penangkapan ikan, perompakan, perdagangan manusia, dan penyelundupan.
Secara khusus, Indonesia juga menekankan ancaman dari penangkapan ikan secara ilegal, tak dilaporkan dan tak sesuai dengan peraturan yang dapat mengganggu pembangunan ekonomi kawasan. Hal ini akan menyebabkan kerusakan pada lingkungan hidup di laut dan mengganggu stabilitas dan keamanan kawasan.
Mantan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengatakan bahwa kesatuan politik ASEAN sangat penting tapi sekarang sedang menghadapi tantangan serius.
Dengan memainkan peran sentral dalam sengketa dan menjaga perdamaian di kawasan itu, ASEAN tidak bisa tinggal diam karena banyak rakyatnya dari lebih 500 juta jiwa akan terkena dampak dari sengketa di LCS.
Pada saat yang sama dialog negara-negara anggota ASEAN untuk membahas, mencari solusi yang tepat untuk masalah LCS, dilaksanakan guna mencegah potensi konflik.
Jika konflik terjadi, hal ini akan "membahayakan semua pihak yang terlibat dan tidak ada satu pun negara yang menang," kata Presiden Vietnam Tran Dai Quang pada sebuah seminar yang diselenggarakan oleh ISEAS, Singapura, akhir bulan lalu.
Hanya dengan persatuan, negara-negara ASEAN akan dapat menciptakan lingkungan yang damai dan makmur, menuju masyarakat ASEAN sejahtera secara berkelanjutan di masa depan.
Berbagai forum yang menghadirkan sejumlah pakar dari dalam dan luar negeri diadakan di Jakarta baru-baru ini. Center for Southeast Asian Studies (CSEAS) misalnya menyelenggarakan lokakarya internasional untuk membahas usaha-usaha mencari solusi atas konflik di LCS dari perspektif ASEAN.
Selain itu The Habibie Center yang bekerja sama dengan USINDO Jakarta dan Kedutaan Besar Amerika Serikat mengadakan forum bertajuk "The Hagues South China Sea Ruling: Legal and Political Implications".
Isu LCS menjadi tantangan yang signifikan untuk solidaritas dan persatuan negara anggota ASEAN. KTT ASEAN kali ini di Vientien, Laos, menghadapi tantangan serius bagi persatuannya terutama setelah pengumuman keputusan Pengadilan Tetap Arbitrase (PCA).
Pada Juli 2016, PCA di Den Haag, Belanda, mengeluarkan keputusan menolak klaim China atas LCS, dengan menyatakan bahwa klaim itu melanggar hak-hak kedaulatan Filipina.
Tentu saja keputusan tersebut menimbulkan implikasi, baik legal maupun politik atas China, Filipina dan negara-negara anggota ASEAN dan juga negara-negara di luar organisasi itu.
China secara terbuka menolak keputusan tersebut, dan menantang jurisdiksi mahkamah itu mengenai kasus tersebut. Negara-negara sekutu China di ASEAN terutama Kamboja dan Laos mendukung sikap Beijing tersebut, mencegah ASEAN mengambil sikap bersama mengenai isu LCS.
Keputusan PCA itu mendapat tanggapan dari banyak negara. Perselisihan klaim tumpang-tindih yang telah berlangsung lama itu di LCS melibatkan empat negara anggota ASEAN yakni Filipina, Vietnam, Malaysia dan Brunei dan juga China dan Taiwan.
Meskipun Indonesia bukan merupakan pihak langsung dalam sengketa dengan China di LCS, namun China selalu mengatakan bahwa perairan sekitar pulau-pulau Natuna di Indonesia merupakan "lahan perikanan tradisional mereka."
Response Indonesia sebagai negara kunci di kawasan Asia Tenggara juga dapat mempengaruhi tanggapan di antara negara-negara anggota ASEAN lainnya. Negara-negara yang bukan pengklaim (non-claimant) termasuk Amerika Serikat juga menyatakan memiliki kepentingan atas kawasan itu.
Oleh karena itu, LCS telah menjadi masalah umum dari negara-negara ASEAN, bukan masalah sengketa masing-masing negara anggota ASEAN dengan China.
Pada KTT ASEAN, isu LCS harus ditanggapi dengan serius, dimasukkan ke dalam diskusi serta para pemimpin mengeluarkan pernyataan bersama terkait isu tersebut.
Tanpa ada resolusi mengenai klaim tumpang-tindih di kawasan itu yang kaya sumber daya alam dan posisinya yang strategis, energi ASEAN akan terkuras.
Bersatu hadapi tantangan
Persatuan dan sentralitas ASEAN sangat penting dalam menghadapi tantangan regional dan menciptakan potensi kerja sama, realisasi Komunitas ASEAN serta pelaksanaan tujuan visi ASEAN untuk tahun 2025. Peran sentral dan terpadu ASEAN juga telah menjadi faktor dasar untuk melanjutkan pengembangan dinamis perhimpunan pada saat ini.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pada pertemuan para menteri luar negeri ASEAN di Vientiane pada April lalu mengatakan bahwa hanya dengan persatuan ASEAN, organisasi dapat terus memberikan kontribusi bagi stabilitas, perdamaian dan keamanan di wilayah tersebut.
Selain menyinggung isu LCS, Menlu Retno juga menekankan persatuan untuk menghdadpi ancaman keamanan non tradisional di laut di kawasan itu seperti masalah penangkapan ikan, perompakan, perdagangan manusia, dan penyelundupan.
Secara khusus, Indonesia juga menekankan ancaman dari penangkapan ikan secara ilegal, tak dilaporkan dan tak sesuai dengan peraturan yang dapat mengganggu pembangunan ekonomi kawasan. Hal ini akan menyebabkan kerusakan pada lingkungan hidup di laut dan mengganggu stabilitas dan keamanan kawasan.
Mantan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengatakan bahwa kesatuan politik ASEAN sangat penting tapi sekarang sedang menghadapi tantangan serius.
Dengan memainkan peran sentral dalam sengketa dan menjaga perdamaian di kawasan itu, ASEAN tidak bisa tinggal diam karena banyak rakyatnya dari lebih 500 juta jiwa akan terkena dampak dari sengketa di LCS.
Pada saat yang sama dialog negara-negara anggota ASEAN untuk membahas, mencari solusi yang tepat untuk masalah LCS, dilaksanakan guna mencegah potensi konflik.
Jika konflik terjadi, hal ini akan "membahayakan semua pihak yang terlibat dan tidak ada satu pun negara yang menang," kata Presiden Vietnam Tran Dai Quang pada sebuah seminar yang diselenggarakan oleh ISEAS, Singapura, akhir bulan lalu.
Hanya dengan persatuan, negara-negara ASEAN akan dapat menciptakan lingkungan yang damai dan makmur, menuju masyarakat ASEAN sejahtera secara berkelanjutan di masa depan.
Oleh Mohammad Anthoni
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016