"Hari ini kami melaporkan adanya dugaan potensi kerugian negara terkait Peraturan Menteri No. 8 Tahun 2006 tentang Biaya Interkoneksi yang akan diubah oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan kebijakan baru yang berlaku pada tanggal 1 September 2016," kata Manajer Advokasi dan Investigasi Fitra Apung Widadi di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Senin.
Fitra menilai kebijakan tentang perubahan tarif interkoneksi itu terburu-buru, apalagi perubahan kebijakan tersebut hanya berupa surat edaran No.1153/M.Kominfo/PI.0204/08/2016 yang dinilai tidak setingkat dengan peraturan menteri.
Anehnya, kata Apung, surat edaran itu itu ditandatangani oleh Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika.
"Seharusnya tidak layak seorang Plt Dirjen menandatanganinya," kata Apung.
Apung menambahkan bahwa isi surat edaran tersebut terindikasi melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, khususnya menyangkut penetapan tarif interkoneksi yang seharusnya didasarkan pada Pasal 22 dan 23 PP tersebut.
Secara terpisah anggota Komisi VI DPR Yaqut Cholil Qoumas mengatakan kebijakan pemerintah mengenai penurunan tarif interkoneksi harus memperhatikan prinsip keadilan dan persaingan yang sehat.
"Jangan sampai hanya menguntungkan operator swasta saja," kata Yaqut dalam penyataan tertulis di Jakarta, Senin, menanggapi polemik penurunan tarif interkoneksi yang sedang berlangsung saat ini.
Kemenkominfo sendiri telah memutuskan menunda pemberlakuan kebijakan penurunan tarif interkoneksi itu hingga waktu yang belum ditentukan.
Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016