Jakarta (ANTARA News) - “Setan Jawa” bukan film horor biasa. Tidak ada penampakan makhluk gaib, atau jeritan aktor yang membuat penonton terkesiap, pun musik yang membuat bulu kuduk meremang.
Sutradara Garin Nugroho menggantinya dengan film bisu berwarna hitam putih, terinspirasi dari film klasik seperti “Nosferatu” (1922) dan Metropolis (1927) yang diiringi langsung oleh orkestra.
Urusan musik pengiring “Setan Jawa” diserahkan kepada komposer Rahayu Supanggah yang bertugas membuat orkestra gamelan Jawa bersama para pengrawit andal.
Para pemain gamelan dan beberapa pesinden berlarasan mengisi musik sesuai adegan yang terpampang di layar lebar. Alunan gamelan yang syahdu sontak menjadi nuansa musik Bali yang rancak tiap kali adegan mistik yang melibatkan para setan muncul.
Panggah, nama panggilan komposer itu, baru menggarap musik setelah Garin menyelesaikan pengambilan gambar.
Berbekal pengalaman saat bekerja sama dengan sutradara itu di “Opera Jawa”, ia memutuskan untuk bekerja belakangan agar tak perlu kerja dua kali.
“Dulu saya disuruh bikin musik dulu untuk panduan tari. Pas jadi ternyata diedit sama Garin, jadi hancur musik saya, harus mengulang lagi,” seloroh seniman yang mempopulerkan musik gamelan Jawa ke masyarakat dunia selama lebih dari empat dekade.
Mereka mempelajari skenario, kemudian berdiskusi untuk membuat musik yang cocok. Pengajar seni klasik di Australia yang telah tampil di berbagai belahan dunia itu tidak bekerja sendirian.
“Para pengrawitnya juga komposer, jadi saling membantu.”
Pesugihan Kandang Bubrah
"Setan Jawa" berkisah tentang cinta dan tragedi kemanusiaan dengan latar waktu awal abad ke-20, era di mana film bisu mulai bermunculan.
Ceritanya, pemuda desa miskin Setio (Heru Purwanto) jatuh cinta pada Asih (Asmara Abigail), putri bangsawan Jawa. Namun lamarannya ditolak lantaran ia tidak berharta.
Setio kemudian meminta bantuan kepada iblis lewat "Pesugihan Kandang Bubrah" agar bisa cepat kaya sehingga bisa melamar Asih.
Mereka akhirnya menikah dan hidup bahagia di rumah Jawa yang megah.
Pelaku pesugihan kandang bubrah harus selalu memperbaiki rumahnya karena utusan setan kerap datang merusak. Pada akhir hidupnya, pelaku pesugihan akan jadi tiang penyangga rumah untuk selamanya.
Asih mulai melihat kejanggalan gelagat sang suami bila berhubungan dengan rumah mereka. Kerusakan-kerusakan di rumah yang prosesnya tak lazim juga tak luput dari pengamatannya.
Hatinya hancur saat mengetahui suaminya terlibat pesugihan.
Asih menemui Setan Jawa (Luluk Ari) untuk meminta pengampunan agar sang kekasih tidak menjadi tiang penyangga rumah saat ajalnya tiba.
Namun setan itu kemudian jatuh cinta pada Asih. Setan berjanji mengampuni Setio asalkan Asih mau merelakan tubuhnya untuk dia.
Seni melebur
Seni sastra, seni peran, seni tari hingga seni musik dilebur menjadi satu dalam “Setan Jawa”, terobosan yang dibuat Garin untuk memperingati 35 tahun berkarya di industri kreatif.
Para pemain tidak sekadar berakting. Mereka menyampaikan cerita mistik menjadi kaya mendadak lewat pesugihan kandang bubrah melalui gerakan tari.
Tak heran, Garin menggandeng para maestro dari Institut Seni Indonesia untuk menghidupkan cerita mistik soal pesugihan ini.
Penari Luluk Ari Prasetyo berperan sebagai Setan Jawa yang secara visual diwakili dengan topeng seram yang tak pernah dilepasnya sama sekali.
Heru Purwanto, pemain Wayang Orang Sriwedari di Surakarta, didapuk jadi Setio, pria miskin yang nekat mencari kekayaan lewat pesugihan demi mendapatkan pujaan hati, putri bangsawan Jawa bernama Asih.
Hanya Asmara Abigail, pemeran utama Asih, yang sama sekali tidak punya latar belakang tari tradisional Jawa, melainkan tari kontemporer seperti tango, flamenco hingga pole dance.
Garin mengaku sengaja merekrut aktris yang bukan penari Jawa agar hasilnya tak mudah ditebak.
“Kalau penari Jawa, sudah ketahuan nanti jadinya bagaimana,” katanya.
Gadis kelahiran 3 April 1992 ini digembleng selama dua pekan sebelum pengambilan gambar untuk mempelajari tari klasik Jawa hingga interpretasi ke gerakan binatang bersama para maestro dari Institut Seni Indonesia.
Hasil akhirnya adalah tipikal perempuan Jawa yang lemah lembut namun bahasa tubuhnya memancarkan aura seksi.
Kesan yang bertolak belakang ini terlihat mencolok saat Asih menari berkelompok ketika bertemu Setan Jawa. Begitu pun dengan koreografi tari saat berasyik masyuk dengan sang suami di ranjang, serta ketika didatangi utusan setan saat membasuh tubuh di dalam bak mandi.
Menonton “Setan Jawa” serasa membaca kisah rakyat yang diwujudkan ke dalam bentuk visual, dilengkapi dengan musik apik yang menambah roh cerita.
“Setan Jawa” terdiri dari beberapa bab yang selalu diawali narasi singkat berisi ringkasan cerita di setiap bagian.
Ini membuat alur “Setan Jawa” mudah dipahami meski tanpa dialog dan sebagian besar gerak pemain diekspresikan dalam bentuk tarian.
Malah, perasaan dari para pemain bisa diterjemahkan lebih ekspresif lewat bahasa tari, seperti saat ibu Asih (Dorothea Quuin) menolak mentah-mentah lamaran Setio yang membuat pria itu frustrasi setengah mati.
Gerakan yang biasanya halus serta merta menjadi tegas ketika mengetahui putrinya dilamar pria miskin yang tidak sederajat dengan keluarganya.
Nuansa hitam putih yang dipilih Garin justru menguatkan unsur mistis yang ditonjolkan di sini.
Bagi Garin, “Setan Jawa” adalah ode mengenai masa kecilnya di Yogyakarta yang diwarnai ingatan mistik Jawa. Ayahnya adalah penerbit novel berbahasa Jawa. Rumah mereka berfungsi sebagai percetakan, tempat latihan tari, sekaligus tempat berkumpul orang kejawen alias agama Jawa tradisi.
Setan "gentayangan"
“Setan Jawa” tak hanya “bergentayangan” di Indonesia. Tahun depan, tepatnya Februari, film ini tampil di Opening Night of Asia Pacific Triennial of Performing Arts di Melbourne, Australia.
Bila di Indonesia, iringan musiknya hanya gamelan, di Australia ada tambahan orkestra. Sekitar 20-25 pengrawit akan berkolaborasi dengan 150 pemusik orkestra.
Menurut Garin, sudah ada beberapa negara yang tertarik memboyong “Setan Jawa”, termasuk Singapura, Inggris dan Belanda.
Ia membuka kesempatan untuk menggandeng berbagai komposer dari tiap negara agar bisa mempersembahkan iringan musik yang beragam. Bisa jadi musik klasik China atau bahkan musik rock.
Supanggah sudah menyediakan pakem-pakem musik pengiring film bila ada pihak yang ingin bereksperimen membawakan musik berbeda. Interpretasi baru boleh-boleh saja asal berkenan di hati pembuat aslinya.
“Harus lewat persetujuan kami dulu,” ujar peraih penghargaan Komposer Terbaik di Festival Film Asia Pasifik, Festival Film Indonesia dan Penghargaan Film Asia itu.
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016