"Saya sempat berpikir mau berhenti dan ingin jadi pelatih saja," ujarnya.
Badannya yang tinggi menjulang hingga 182 cm itu terlihat lebih berisi. Tidak hanya secara fisik. Hayom banyak bercerita soal masa-masa sulitnya setelah mengalami cedera pada ligamen lutut Anterior Cruciate Ligament (ACL).
Hayom menderita cedera hingga ACL-nya putus saat bertanding di Malaysia Purple League membela Ampang Jaya pada November tahun lalu.
Ia harus menjalani operasi dan rehabilitasi sehingga membuatnya absen dari dunia bulu tangkis hampir setahun.
"Sekarang masih rehabilitasi. Semoga akhir tahun sudah bisa main lagi," kata Hayom saat ditemui di GOR PB Djarum, Jati, Kudus, Sabtu (3/9).
Selama rehabilitasi, Hayom sementara tinggal di Jakarta. Saat ini, ia masih terus melatih kekuatan otot paha dan yang paling utama mengatasi rasa trauma.
"Saya sempat coba main dua minggu lalu, tapi kalau sudah dapat bola belakang masih trauma," ungkap Hayom yang sempat ke terapis untuk mengobati traumanya tersebut.
Akibat cedera yang dideritanya tersebut, peluang Hayom untuk tampil di Olimpiade juga pupus.
"Tiga bulan pertama setelah cedera, saya masih enggak mau operasi karena saya pikir percuma juga. Kalau saya operasi, pasti saya tidak akan ikut Olimpiade, tapi kalau enggak operasi pun kesempatannya masih fifty fifty," tutur Hayom yang operasinya menelan biaya hingga Rp100juta dan ditanggung klubnya.
"Saya sempat berpikir mau berhenti dan ingin jadi pelatih saja," ujarnya.
Namun, klubnya, PB Djarum, meminta Hayom agar terus bermain.
Evaluasi diri
"Hampir setahun tidak bermain, ini istirahat paling lama selama saya jadi atlet," kata mantan pemain Pelatnas yang pernah bercita-cita jadi tentara itu.
Selama menjalani rehabilitasi, Hayom mengaku banyak introspeksi diri.
"Saya sampai enggan nonton Olimpiade, tidak mengikuti perkembangan bulu tangkis karena rasanya sakit hati. Gimana rasanya ya, mau main bulu tangkis tapi tidak bisa apa-apa," katanya.
Apalagi selama di Jakarta, ia tinggal sendiri di rumahnya di Jati Asih, Bekasi.
"Jadi tahu mana yang benar-benar teman, mana yang bukan," ujar pemain berusia 27 tahun itu.
Ia juga merasakan penyesalan saat dirinya masih menjadi pemain nasional yang cukup diandalkan.
"Saya merasa saat itu tanggung jawab terhadap diri sendiri itu kurang. Mungkin karena terlalu enak, terlalu nyaman, mungkin star syndrome," tutur Hayom.
Saat masih di Pelatnas, Hayom juga merasa tidak memiliki panutan sehingga membuatnya kurang terpacu untuk lebih kompetitif.
"Waktu itu Mas Sony (Sony Dwi Kuncoro) dan Koh Simon (Simon Santoso) sedang cedera. Persaingan kurang. Misal, mau membuat target latihan, jadinya standar saja seperti tidak ada target berikutnya," jelas Hayom.
Namun, Hayom telah belajar dari masa lalu. Motivasi dari orangtua dan klubnya menambah semangatnya untuk bangkit lagi.
"Terutama motivasi dari diri sendiri. Sekarang justru ingin membuktikan lagi," katanya.
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2016