Saya masih belum dapat mempercayai ini terjadi."

Almaty (ANTARA News) - Islam Karimov, Presiden Uzbekistan selama seperempat abad terakhir, dimakamkan di Samarkand sebagai kampung halamannya pada Sabtu, meninggalkan kekosongan kekuasaan di sebuah negara yang merupakan kubu terhadap para militan di Asia Tengah.

Karimov wafat di usia 78 tahun akibat serangan otak (stroke). Setelah upacara pemakaman di alun-alun Registan, Samarkand, yang dihadiri ratusan kaum pria - sejumlah di antaranya meneteskan air mata - jasadnya dikubur di pemakaman Shah-i-Zinda di kota itu, kata dua pelayat kepada kantor berita Reuters.

Presiden Karimov dipandang oleh pemerintah-pemerintah Barat sebagai seorang diktator yang melanggar hak-hak asasi manusia, tetapi bagi banyak orang Uzbekistan, negara yang berpenduduk mayoritas Muslim yang berbatasan dengan Afghanistan itu dan bekas Soviet, ia satu-satunya kepala negara yang mereka ketahui.

Siapa yang menjadi penggantinya belum jelas. Kematian Karimov telah memicu kesedihan, bercampur dengan ketakmenentuan tentang masa depan Uzbekistan.

"Saya masih belum dapat mempercayai ini terjadi," ujar seorang warga asal Tashkent, ibu kota Uzbekistan.

Ia termasuk di antara ribuan orang yang berbaris di jalan utama untuk menyaksikan iring-iringan kendaraan yang mengiringi mobil jenazah menuju Samarkand.

"Saya tak tahu apa yang terjadi sekarang, saya bingung," kata pria yang menolak menyebutkan jati dirinya itu.

Bagaimana kekosongan kekuasaan diisi di Uzbekistan jadi perhatian Rusia, Amerika Serikat dan China, semua kekuatan dengan berbagai kepentingan di kawasan Asia Tengah. Uzbekistan merupakan negara paling padat penduduknya di antara negara-negara kawasan itu.

Para pengamat Asia Tengah mengatakan sekelompok pejabat senior terbatas dan para anggota keluarga Karimov akan bertemu secara tertutup untuk menyepakati seorang presiden baru.

Di upacara pemakaman Karimov, Perdana Menteri Shavkat Mirziyoyev (59) dan Menteri Keuangan Rustam Azimov (57) berada di barisan depan, dekat sekali dengan jenazah Karimov.

Jika elit negeri itu gagal menyepakati siapa pemimpin dalam sebuah transisi, maka ketakstabilan dapat dieksploitasi oleh para militan yang di masa lalu telah melancarkan serangan-serangan di berbagai kota dan menginginkan Uzbekistan bagian dari kekhalifahan Islam.

Karimov tercatat memenjarakan, membunuh dan mengasingkan sebagian besar pejuang Islam di dalam Uzbekistan. Sejak itu banyak yang bergabung dengan Taliban di Afghanistan dan ISIS di Irak dan Suriah.

Peningkatan kekerasan di Uzbekistan akan mengancam kepada Amerika Serikat, yang berusaha memadamkan pergolakan di Afghanistan.

Selain itu, Rusia yang selama ini sebagai tempat bagi jutaan pekerja migran Uzbekistan juga bisa menghadapi kesulitan.

Sedangkan, China mencemaskan para militan di Asia Tengah. Para militan dapat bekerja sama dengan kelompok-kelompok minoritas etnis Uighur yang mayoritas Muslim dan memperjuangkan pemisahan dari Negara Tembok Besar itu.

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2016