"Saya yakin penyerangan IAH terhadap pastor dengan membawa perangkat bahan peledak itu adalah inisiatifnya yang terinspirasi dunia internet, bukan di-setting aparat. Buat apa aparat me-setting kejadian itu," kata Wawan di Jakarta, Jumat.
Menurut Wawan, IAH masuk kategori "lone wolf" atau pemain tunggal, tidak terkait dengan kelompok teroris tertentu. Aksi terorisme model ini semakin sering dijumpai sehingga pemerintah harus proaktif menanggulangi.
"Saya yakin dia belajar dari internet. Dia mengumpulkan bahan dan belajar merakit. Memang tidak menutup kemungkinan dia berhubungan dengan orang lain yang men-drive dia (pelaku)," katanya.
Menurutnya, pihak ketiga itulah yang memicu IAH yang masih belia untuk melakukan penyerangan kepada pastor.
Berdasar keterangan beberapa saksi bahwa pelaku menunjukkan banyak keanehan dalam kepribadiannya, semisal seringnya mengurung diri di kamar, enggan bersentuhan langsung saat bersalaman, menurut Wawan hal itu merupakan ciri-ciri bahwa pelaku terkontaminasi dengan hal-hal berbau radikal dan terorisme.
Menurut Wawan luasnya pengaruh radikalisme yang berasal dari internet adalah akibat kurangnya pembatasan. Namun, ia pun mengakui agak sulit menanggulangi penyebaran radikalisme melalui internet.
"Selama ini setiap akun radikal yang ditutup akan muncul akun lain yang juga radikal. Selalu begitu," kata Wawan.
Meski demikian, menurut Wawan, pemerintah tidak boleh memberi peluang bagi kelompok radikal itu untuk tumbuh subur. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) harus lebih progresif menutup akun-akun radikal itu dengan rekomendasi dari pihak berwenang seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
"Begitu muncul, tutup lagi, muncul lagi, tutup lagi, begitu terus agar radikalisme tidak tidak bisa tumbuh subur. Yang repot kan karena mereka mendownload konten-konten itu dari luar negeri. Maka pemerintah dalam hal ini Kemenkominfo harus proaktif menutup. Sebagai bangsa berdaulat, kita harus memproteksi diri," kata Wawan.
Selain itu, kata Wawan, peran orang tua dan lembaga pendidikan dalam membentengi anak dari pengaruh radikalisme terorisme juga harus ditingkatkan.
"Keluargalah yang harus terus mengawasi gerak gerik sehari-hari putra putri mereka. Orang tua harus aktif mengontrol pemakaian internet dan gadget anak-anak mereka agar terhindar dari konten radikal," katanya.
Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016