Jakarta (ANTARA News) - Presiden RI periode 1999-2001, Abdurrahman Wahid, menegaskan bahwa belum ada kemajuan berarti dalam penegakkan hukum di Indonesia, dan terjadinya tebang pilih dalam menangani kasus korupsi. "Keberadaan hukum tidak tegak di Indonesia. Kalau ada penindakkan, itu hanya tebang pilih," kata Gus Dur saat membuka Halaqah Kebangsan PKB yang bertema "Mengawal Konstitusi untuk Kesejahteraan Bangsa" dan temu wicara tentang hukum acara Mahkamah Konstituti di Jakarta, Jumat. Pembukaan halaqah (sarasehan) juga dihadiri Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie, Wakil Ketua MPR AM Fatwa, Ketua Kelompok Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di MPR Bambang Soeroso, anggota DPD Sarwono Kusumaatmadja dan Sekjen DPD Siti Nurbaya. Kegiatan berlangsung hingga Minggu (8/4) dan diikuti anggota legislatif dari PKB serta pengurus wilayah dan cabang PKB. Menurut Gus Dur, adanya penegakkan hukum terutama dalam pemberatasan korupsi yang tebang pilih terjadi sangat menonjol akhir-akhir ini. Penindakkan lebih banyak dilakukan terhadap pejabat atau mantan pejabat yang pernah dekat dengan Presiden Megawati Soekarnoputri. Gus Dur menyebutkan dua nama, yaitu Said Agil Husin Al Munawar (mantan Menteri Agama) yang dijerat pidana korupsi dan mantan Kepala Bulog Widjanarko Puspoyo yang juga dijerat tuduhan korupsi. "Yang lain dibiarkan saja..," kata Gus Dur. Gus Dur menyatakan, penegakkan hukum yang diskriminatif menunjukkan bahwa hukum menjadi alat permainan. Hukum bisa dijual-belikan. Dalam kasus perdata juga demikian. Gus Dur menyebutkan contoh bahwa temannya yang sedang bersengketa secara perdata dalam kasus tanah (sertifikat ganda) harus mengalami kekalahan. "Sertifikat yang palsu ada bekas tip ex-nya justru dimenangkan," katanya. Gus Dur juga menyebutkan bahwa persoalan hukum yang carut-marut diakibatkan pula adanya ketentuan UU yang sering bertentangan dengan konstitusi. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007