Jakarta (ANTARA News) - "Lebih baik menderita seumur hidup daripada menyusun kamus," demikian kelakar kalangan linguis. Maksudnya, kerja membuatn kamus tak akan pernah memuaskan. Begitu kamus selesai disusun dan dicetak, akan muncul kosakata baru. Pengguna kamus pun cerewet, kamus itu dinilainya tidak lengkap. Tetapi, siapa sih yang pernah merasa puas setelah menyelesaikan karya yang bahan bakunya adalah kata-kata? Hampir semua novelis ternama juga tak pernah puas dengan hasil karyanya. "Kalau menunggu sampai sempurna dan memuaskan, karyaku tak akan pernah terbit," ucap Gao, novelis Tiongkok yang pernah meraih Nobel berkat "Soul Mountains", novel yang kompleks. Kembali ke kamus! Eko Endarmo, penulis esai sastra, rupanya memilih menyusun kamus daripada menderita sampai mati. "Tesaurus Bahasa Indonesia", buah karyanya, muncul tahun ini oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama. Tesaurus atau kamus sinonim sejak lama ditunggu-tunggu para perajin kata-kata. Tanpa tesaurus, seorang penulis atau jurnalis harus mengerahkan ingatannya akan sinonim sebuah kata, demi mendapat variasi kata ketika menulis. Soalnya para ahli teori retorik, yang menulis buku panduan tulis-menulis, selalu menganjurkan bahwa penulis harus menghindari repetisi. "Pilihlah kata sevariatif mungkin supaya pembaca tidak merasa bosan," begitulah sang retorik bilang.Rasa Jawa Tesaurus Bahasa Indonesia susunan Eko mencoba menunjukkan kekayaan kosa kata bahasa Indonesia. Namun harus diakui, tesaurus yang memuat 16.000 lema beserta sublemanya itu, kental dengan rasa Jawa. Artinya, kosa kata bahasa Jawa sangat dominan dalam himpunan kata bersinonim itu. Berapa banyak orang dari suku bukan Jawa yang maklum bahwa "kukila" atau "paksi" itu sinonim "burung"? Sekali lagi, pernah terbayangkah di benak orang Batak atau Manado bahwa "biji" bisa bersinonim dengan "nilai"? Di kalangan siswa Jawa sepulang sekolah, pertanyaan yang paling sering dilontarkan orangtua adalah: "Piro bijimu, le?", berarti: Berapa nilai (pelajaran) mu, nak? Jika Eko bermaksud menggali khazanah bahasa daerah untuk memperkaya bahasa Indonesia, seyogianya bahasa-bahasa daerah lain seperti Madura, Dayak, Maumere, Osing, Batak juga diperhitungkan. Dalam lingkup sumbangan bahasa daerah, Eko hanya mencomot bahasa Bali, Sunda, Minangkabau, Jakarta, selain Jawa untuk mendukung pengayaan bahasa Indonesia. Tesaurus susunan Eko ini juga tidak menyertakan contoh pemakaian kata yang disinonimkan. Dalam memadankan kata, Eko memilih metode penyusunan berdasar alfabetis, bukan kedekatan makna. Bagi pengguna yang belum menguasai sematik, tesaurus Eko bisa menyesatkan. Itu sebabnya Eko berpesan, tesaurus ini ditujukan bagi mereka yang "tidak bodoh-bodoh amat", yang sudah melek makna kata. Karya Eko yang dijual Rp170.000,-ini konon akan segera menemukan pesaingnya. Pusat Bahasa dalam waktu yang tak terlalu lama juga akan menerbitkan tesaurus serupa. Pengguna tesaurus diberi kesempatan "membiji" tesaurus siapakah yang lebih unggul dan layak dijadikan rujukan dalam bekerja meramu kata jadi kalimat. (*)

Oleh Oleh Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2007