Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi V dari Fraksi Partai Amanat Nasional DPR Andi Taufan Tiro belum ditahan seusai diperiksa sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi terkait proyek Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat 2016.
"Silakan tanya ke penyidik ya," kata Andi seusai diperiksa selama sekitar 8 jam di gedung KPK Jakarta, Senin.
Andi tinggal menjadi satu-satunya tersangka yang belum ditahan dalam perkara ini. Pada 23 Agustus 2016 KPK menahan Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara Kementerian PUPR Amran Hi Mustary.
Empat tersangka penerima suap lain yaitu anggota Komisi V DPR dari Fraksi PDI-Perjuangan Damayanti Wisnu Putranti, anggota Komisi V dari Golkar Budi Supriyanto, anggota Komisi V dari Fraksi PAN Andi Taufan Tiro, dua rekan Damayanti yaitu Judia Prasetyarini dan Dessy A Edwin sudah ditahan dan sedang menjalani pesidangan.
Penyuap dalam perkara ini adalah Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir yang sudah divonis bersalah selama 4 tahun penjara.
"Saya lupa persis (berapa pertanyaan). Mohon maaf, lumayan banyak, tanyakan ke penyidik ya," tambah Andi singkat.
Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha menyatakan bahwa tidak ada keharusan untuk langsung menahan tersangka seusai diperiksa.
"Tidak ada keharusan bahwa seorang tersangka langsung ditahan. Sebagaimana yang ada di dalam KUHAP bahwa penahanan itu berdasarkan subjektivitas dan obejektivitas penyidik. Pada hari ini merasa belum perlu untuk melakukan penahanan terhadap ATT (Andi Taufan Tiro)," kata Priharsa.
Menurut Priharsa, penyidik pun tidak mengejar pengakuan tersangka.
"Pada prinsipnya penyidik hanya mencatat apa yang disampaikan tersangka, penyidik tidak mengejar pengakuan tersangka sedangkan dugaan pihak-pihak lain yang terlibat masih didalami apakah ada akan pihak-pihak lain yang bisa dimintai pertanggungjawaban terkait dugaan tindak pidana," tambah Priharsa.
Andi Taufan Tiro disangkakan pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang mengatur tentang pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Dalam dakwaan Direktur PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir, Andi Taufan Tiro disebut menerima uang senilai total Rp7,4 miliar agar Andi meloloskan proyek dari program asirasi DPR disalurkan untuk proyek pembangunan atau rekonstruksi jalan di Maluku dan Maluku Utara yaitu jalan Wayabula-Sofi senilai Rp30 miliar dan peningkatan Wayabula-Sofi sebesa Rp70 miliar.
Andi kemudian minta fee sebesar 7 persen dari jumlah proyek yaitu Rp7 miliar.
Pemberian uang pertama dilakukan pada 9 November 2015 untuk proyek pembangunan jalan Wayabula-Sofi sebesar Rp 2 miliar yang diberikan melalui Jailani di sekitar Blok M, dan keesokan harinya Jailani menyerahkan kepada Andi Taufan Tiro di belakang kompleks perumahan DPR Kalibata sekitar pukur 02.00 WIB
Kemudian pada 9 November 2015, Abdul Khoir bersama dengan Imran S Djumadil menyerahkan Rp2 miliar yang ditukare menjadi 206.718 dolar Singapura di ruang kerja Andi di gedung DPR.
Abdul Khoir kembali mengeluarkan Rp2,2 miliar untuk pembayaran fee proyek peningkatan jalan Wayabula-Sofi melalui Jailani di kompleks perumahan DPR. Namun uang dipotong Rp300 juta sehingga hanya Rp1,9 miliar yang diserahkan ke Andi Taufan Tiro.
Terakhir penyerahan uang pada 1 Desember 2015 sebesar Rp1,5 miliar yang diserahkan melalui Imran Djumadil dan Yayat Hidayat di warung tenda roti bakar depan makam pahlawan Kalibata Jakarta Selatan.
Namun Andi selalu membantah hal tersebut, bahkan dalam sidang pada 25 April 2016, Andi Taufan membantah pernah menerima uang tersebut.
(D017/N002)
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016